Produk Sweda Sampai ke Amerika

Bagikan

Kerajinan perak sudah ada sejak pusat pemerintahan kerajaan Mataram Islam berdiri di Kotagede. Pada masanya, perak menjadi benda untuk kebutuhan rumah tangga. Selain menjadi alat kebutuhan rumah tangga, perak pada masa kerajaan Mataram Islam melambangkan sebuah kemewahan. Meski pemerintahan Mataram bergeser ke Pleret, pengrajin perak tetap menetap di Kotagede.
Sampai hari ini, toko perak masih berdiri dan berjejer di sepanjang jalan Kotagede. Selang berjalanannya waktu, produk perak tidak hanya sebatas sebagai alat untuk kebutuhan rumah tangga, namun bertranformasi ke produk yang lebih kekinian seperti yang dilakukan Sweda.
Sweda adalah perusahaan pengrajin perak yang berlokasi di Kotagede. Pada tahun 2016, Sweda didirikan oleh tiga pemuda, yaitu Syahrizal Anwar, Surya Aditya, dan Taufik Hidayat. Mereka bertiga tidak sembarangan menamai perusahaannya.

- Advertisement -


Dari keterangan Syahrizal Anwar, nama Sweda berasal dari dua bahasa, yakni Jawa Lama dan Jawa Sanskerta. Dalam Bahasa Jawa Sanskerta, Sweda artinya keringat. Kalau Bahasa Jawa Lama, Sweda artinya jari tangan. Dari dua Bahasa itulah Sweda diartikan sebagai kristalisasi keringat atau pekerjaan tangan.
Meski arti dari nama perusahaannya terkesan filosofis, namun awalnya mereka mendirikan Sweda tidak terlalu serius. Syahrizal Anwar, Surya Aditya, dan Taufik Hidayat merintis Sweda ketika bapak dari Syahrizal Anwar dan Surya Aditya tidak ada atau meninggal dunia. Sebab mereka ingin bekerja dari rumah untuk melihat ibunya setiap hari, alhasil mereka memutuskan untuk membuat perusahaan perak.
Kantor Sweda sendiri ada di samping kediaman Syahrizal Anwar dan Surya Aditya, bisa dibilang masih satu halaman dengan rumahnya. Hal tersebut tidak lepas dari niat dan tujuan awal mereka yang ingin menjaga dan melihat ibunya setiap hari.
“Dari niatan ini, mungkin diamini atau diijabah oleh Gusti Allah sampai sekarang,” kata Syahrizal Anwar ketika ditemui pada Sabtu (29 Juni 2024).
Menariknya, mereka bertiga memulai usahanya tanpa bekal atau skill membuat perak. Dari keluarga sendiri, tidak ada latar belakang pengrajin perak. Orang-orang mengira, kalau mereka di Kotagede itu masih ada keturunan pengrajin perak. Mereka memulai usaha tanpa skill dan ilmu bisnis yang mumpuni.
Secara akademis mereka bertiga belum punya kompetensi di bidang pembuatan perak dan bisnis. Mereka memutuskan membuat usaha ini, berangkat dari istilahnya kalau terjun ke air harus sampai basah kuyup. Mereka bertekad, kalau sudah terjun ke air, harus basah kuyup. Apabila berhasil akan sukses, dan kalau tidak akan tenggelam.
“Saya kuliah tapi tidak selesai. Adik saya juga. Simpel saja, lulusan SMA kalau kerja di Yogyakarta, bakal sampai mana? Karena UMR sedikit. Kalau mau menaikkan harkat dan martabat keluarga ya tidak bisa. Jadi hanya bisa usaha. Ya sudah kita usaha. Sekalian masuk dan basah kuyup,” terang Syahrizal Anwar.
Dari keterangan Syahrizal Anwar, mereka bertiga tidak belajar secara khusus atau intern ke siap-siapa untuk membuat perak. Mereka belajar membuat perak lewat YouTube. Awalnya, mereka belajar membuat perak lantaran produk perak yang dibuat melalui jasa, tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan, alias telat. Mereka menilai, etos kerja jasa pengrajin perak itu masih kurang baik.
“Saat itu, saya sudah memberikan dedline dan belum selesai. Akhirnya saya ambil barang dan mengerjakan sendiri kekurangannya. Sebab suka mengerjakan sendiri, saya pikir, kayaknya saya bisa membuat ini. Detail-detail cara bikinnya semuanya saya belajar di YouTube,” jelas Syahrizal Anwar.
Ia menilai, kalau mau belajar teknik kerajinan di Kotagede itu sifatnya susah-susah gampang. Tidak seperti yang orang bilang, kalau Kotagede orangnya terbuka dan sebagainya. Dalam realitanya, kalau mencari ilmu ke orang yang ekspert di perak, pasti ada part yang ditutup-tutupi.
Pengamatan Syahrizal Anwar, pengrajin perak di Kotagede berpikir pendek, seperti kalau ada yang belajar perak, selanjutnya akan menjadi saingannya. Padahal, kata Syahrizal Anwar, rata-rata orang yang eksper membuat perak sudah sepuh-sepuh.
“Mau sampai usia berapa membuat perak? Mau diwariskan ke siapa ilmu membuat perak? Apakah anak-anaknya mau meneruskan? Oleh sebab itu, kami belajar sendiri. Sederhananya begini, Kotagede itu adalah kota perak. Besok yang akan meneruskan siapa? Oleh sebab itu, pekerja kami di perusahaan ini rata-rata masih muda semua, sekitar 25 tahun ke bawah. Seperti aturan yang tidak tertulis, kalau pekerja di sini adalah anak muda semua. Pertama, kami memilih anak muda agar lingkungan kami bagus, pengetahuan yang bisa kami kasih juga mudah tersampaikan.”
Syahrizal Anwar bercerita, kalau ia pernah menemui seorang anak yang bapaknya pekerja perak. Anaknya itu diajari membuat perak, dan bisa dikatakan 80 persen sudah bisa membuat perak. Akan tetapi, anak itu tidak mau meneruskan usaha bapaknya. Malah lebih memilih pekerjaan lain, karena tidak ada kebanggaan menjadi pengrajin perak.
Makanya, karyawan di Sweda mengedepankan branding diri sebagai pekerja perak, bukan tukang perak. Bagi Syahrizal Anwar, konotasi penyebutan tukang perak seperti merendahkan pengrajin perak. Oleh sebab itu, ia membuat pemikiran kalau pekerja perak di sini merupakan sebuah kebanggaan. Apalagi, klien Sweda itu anak muda semua, jadi mereka bangga.
Kalau main di skena streetwear, skena hiphop, skena grafiti, skena skateboard dan skena BMX lalu membicarakan Sweda di Yogyakarta, pasti semua sudah tahu. Sebab influenc-influenc streetwear, hiphop, grafiti, skateboard dan BMX di Amerika pesan produknya ke Sweda semua.
“Kami itu sebenarnya tidak menjual perhiasan. Jadi kalau ada orang bilang, di sini ada brand baru dan punya produk cincin bagus nih, namun produk kami berbeda. Kami berada di jalan subculture. Jalan ini kecil tapi kami intens di situ. Kalau ada brand baru, itu tidak akan mengganggu kami. Kami sudah mengunci di jalan subculture itu dengan masuk ke komunitasnya and friend family yang bagus,” tambah Syahrizal Anwar.
Subculture tidak jauh dengan kehidupanku sehari-sehari. Sebagai contoh, kita suka memakai sepatu dan baju yang bermerek seperti Vans dan lain sebagainya. Hal itu sudah ada di dunia kita, namun kita tidak bisa menyentuh brand-brand itu karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki masing-masing individu. Terinspirasi dari itu, akhirnya Sweda keluar dari Indonesia dalam pemasaran dan pemikiran.
Sweda merupakan perusahaan pengrajin perak yang menyasar pasar internasional. Hampir semua produknya terjual di pasar internasional. Pintu masuk ke pasar internasional dimulai ketika kami mengirim surel ke brand Us Versus Them. Tahun 2000-an dia cukup terkenal di kalangan subculture Amerika
Awalnya, Sweda mengirim surel hanya untuk meminta izin membuat produk dari brand mereka. Saat itu kalau tidak dibolehkan, mungkin Sweda tidak akan buat. Akan tetapi nasib berbicara lain, Sweda malah diizinkan. Ditambah, orang yang membalas pesan surel itu adalah fondernya langsung. Mereka memberikan izin Sweda untuk membuat produk dengan brand milik mereka, dengan catatan kalau Sweda hanya dibolehkan membuat dua produk; satu untuk dikirim ke Us Versus Them; satu lagi untuk koleksi sendiri dan tidak boleh diperjualbelikan.
“Saya masih ingat klien pertama yang membuka gerbang di pasar Amerika adalah fonder Us Versus Them. Sampai sekarang hubungan kami sangat baik,” sanggah Syahrizal Anwar.
Setelah dilihat oleh fonder Us Versus Them, secara kualitas produk Sweda mampu mengalahkan produk dari Jepang yang saat itu mereka pakai. Dari penjelasan Syahrizal Anwar, produk dari Jepang kalau dipakai berat, sementara produk Sweda jauh lebih ringan serta dari segi detail produk lebih baik. Sampai saat ini Sweda menjadi pilihan utama di Amerika Serikat.

Artikel Lainnya
1 of 35


Tidak hanya produk cincin, Sweda juga dipercaya membuat piala MotoGP pertama di Lombok, Indonesia. Sedikit bocoran, dalam pagelaran MotoGP selanjutnya, Sweda dihubungi lagi untuk membuat piala. Namun saat ini masih proses negosiasi.
Dalam menggarap produk piala MotoGP, Sweda mempunyai kekuatan di teknis dan filosofis. Sweda punya kunci caranya bagaimana produk tersebut tidak bisa dibuat oleh orang lain. Kalau dijiplak masih bisa, tapi teknis detailnya yang tidak bisa.
“Ketika mendapat atau membuat produk bagus, saya pasti menduplikat satu untuk portofolio. Kantor ini termasuk baru. Besok saya pengin membuat tempat display produk yang sudah kita kerjakan,” imbuhnya.
Masyarakat di Kotagede tidak ada yang tahu kalau yang mengerjakan piala MotoGP adalah Sweda dari Yogyakarta. Sweda kalau menggarap sesuatu memang jarang mempublikasikan produknya. Sebab ada pengalaman ketika membuat produk bagus, banyak media datang ke kantor Sweda. Alhasil, Sweda sibuk menanggapi media. Sementara timeline jadi terganggu dan tidak fokus pada pekerjaan.
“Jadi piala MotoGP didesain sendiri dengan menggunakan filosofis Lombok. Saya tidak suka menggarap desain yang sudah ada, mendingan saya desain dan garap produknya. Mereka hanya memberikan arahan. Kalau tahu, motif dari piala MotoGP diadopsi dari motif tenun lombok tahun berapa gitu saya lupa. Motif ini mempunyai arti Subhanalle. Jadi sejarahnya, orang yang membuat atau menenun produk tersebut harus wiridan subhanallah subhanallah. Makanya namanya Subhanalle. Saya senang dengan filosofi piala MotoGP. Okelah kalau orang menilai desain ini jelek, tapi kalau tahu filosofinya maka pandangan itu akan gugur,” terang Syahrizal Anwar.

Baca Juga :   Kantor Layanan Lazismu PCM Kotagede Salurkan Zakat Produktif untuk Pendidikan dan Ekonomi


Selain menggarap MotoGP, Sweda juga menggarap piala BRI Liga 1 Indonesia. Dalam 5 (lima) tahun ke depan, Sweda ingin membuat pameran tunggal di Amerika Serikat tanpa sponsor brand dalam negeri dan pemerintah, namun didukung penuh oleh klien-klien yang ada di Amerika Serikat.

Penulis: Achmad Sudiyono Efendi


Bagikan

Leave a Reply