
Agar Tak Dijauhi Generasi Digital, Abdul Mu’ti Ajak Masjid Jadi Ruang Inklusif
BANJARMASIN – Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menyampaikan kekhawatiran fenomena “generasi tanpa masjid”. Yaitu generasi yang tetap taat beribadah secara pribadi, tetapi terputus dari kehidupan keagamaan dalam komunitas.
Hal itu disampaikan dalam tabligh akbar CRM Award VI yang digelar Pengembangan Cabang, Ranting, dan Pembinaan Masjid (LPCRPM), Kamis malam (14/11).
“Banyak masjid tua, baik bangunan maupun jamaahnya, sebab itu harus berubah. Misalnya ramah difabel, nyaman untuk lansia, dan relevan bagi anak muda, lengkap dengan wifi, kafe dan fasilitas lain,” usulnya.
Ia menjelaskan, hasil riset menunjukkan generasi Z dan Alpha tetap menjaga ketaatan beribadah dan menganggap agama penting.
Sayangnya, hanya sekitar 60 persen dari mereka yang benar-benar mempercayai agama. Dan praktik keagamaan mereka cenderung bersifat personal, jauh dari kehidupan sosial.
“Ini yang disebut degenerasi diniyah atau keterputusan keagamaan,” ujarnya.
Kondisi tersebut, lanjut Mu’ti, karena generasi digital lebih sering berselancar di internet. Menjadikan mereka mudah cemas dan mentalnya rapuh.
“Selama November ini, tercatat enam kasus siswa bunuh diri, akibat terlalu banyak terpapar perundungan di media sosial. Termasuk kurang dekat dengan agama. Ini menjadi masalah serius,” ucapnya.
Menurutnya, jika fenomena dibiarkan, Indonesia bisa mengikuti jejak Eropa, di mana banyak gereja kosong, dijadikan tempat wisata, bahkan sebagian dijual dan dialihfungsikan menjadi masjid.
Di Indonesia, kondisi itu tercermin dalam buku Muslim Tanpa Masjid yang ditulis Kuntowijoyo. Secara pribadi mereka taat, tetapi tercerabut dari akar sosial dan komunitas keagamaan.
“Pandai membaca dan menulis Al-Qur’an, tetapi jarang ke masjid. Tidak belajar langsung kepada ustaz atau kiai, malah mengandalkan internet. Sebagian belajar agama hanya dari guru di sekolah atau guru privat,” jelasnya.
Ia melanjutkan, generasi yang tampak taat ini justru mudah terpengaruh paham lain. Karena informasi yang dicari di dunia maya sekadar untuk pembenaran, bukan kebenaran. “Fenomena generasi tanpa masjid inilah yang telah terjadi,” imbuhnya.
Untuk itu, Mu’ti mengingatkan, masjid harus kembali menjadi ruang hangat yang menyatukan semua generasi.
Tidak cukup sekadar tempat ibadah formal, masjid perlu menjadi ruang inklusif, nyaman bagi anak muda dan lansia, serta relevan dengan kebutuhan sosial dan digital masa kini. (guf)
