Alamat dan Kalimat di Jogjakarta
Orang-orang bertumbuh dengan satu atau beberapa alamat. Ia mula-mula di Jombang, sebelum beralamat di Jogjakarta. Sosok yang memberi kata-kata, bergerak jauh dan bersebaran ke segala arah: Emha Ainun Nadjib. Jogjakarta, alamat yang membentuk dirinya meski mengembara ke pelbagai kota dan desa, selama puluhan tahun. Ia berada di Jogjakarta dengan beragam perjumpaan, kebersamaan, dan “kehilangan”.
Kita mulai mengingat Emha Ainun Nadjib muda yang berada di Jogjakarta dalam pergaulan bersama para seniman dan intelektual. Kita mengingat ia yang masih muda gara-gara beberapa hari yang lalu usianya bertambah, mengesahkan sosok itu tua. Dulu, ia mendapat gemblengan dari Umbu Landu Paranggi.
Di majalah Tempo, 26 Februari 1983, di kolom berjudul “Uztadz Umbu”, ia mengisahkan: “Sastra Jogja seri jadi nostalgik, romantik, dan nyinyir, sepeninggal Umbu, 1975. Beberapa sastrawan lain yang potensial hanya berhasil memacu dirinya sendiri, sedikit mengguncangkan situasi, tetapi tak seorang pun mampu menempati peranan Ustadz Umbu.” Emha Ainun Nadjib merasa kehilangan Umbu Landu Paranggi, yang telah mengobarkan sastra di Jogjakarta, menggerakkan seribuan orang yang berhasrat menjadi pengarang.
Emha Ainun Nadjib tetap berada di Jogjakarta. Ia keranjingan menggubah puisi dan cerita pendek. Ia malah fasih dalam penulisan esai-esai. Jogjakarta tetap alamatnya untuk bertumbuh menjadi pengarang dan pendakwah, tak ada keinginan berpindah alamat meski mendapat seribu godaan.
Pada suatu masa, ia pergi ke Belanda (Eropa). Namun, ia malah selalu kepikiran tanah air. Yang dilakukan adalah menulis surat-surat yang akhirnya terbit menjadi buku berjudul Dari Pojok Sejarah (1985). Di sepucuk surat, ia mengingat nasib Jogjakarta dalam perkara keadilan sosial, hak kebudayaan. kehormatan manusiawi, dan lain-lain. Yang ditulis: “Tapi, lihatlah penduduk-penduduk liar di tepi Kali Code, lihatlah kehidupan absurd orang-orang di bekas THR Jogja, lihatlah para gelandangan di pinggir-pinggir pasar ketika pagi buta…” Ia mengalami hidup di Jogjakarta, memberi pengamatan atas nasib para manusia yang belum bahagia. Pada saat di Eropa, ingatan itu menguat.
Selama puluhan tahun, orang-orang makin mengakrabi atau dekat dengan Jogjakarta melalui tulisan-tulisan Emha Ainun Nadjib. Pastinya ia tidak hanya mengisahkan Jogjakarta tapi menjadikannya pijakaan saat turut sibuk memikirkan Indonesia dalam urusan kebudayaan, agama, sosial, pendidikan, politik, sastra, dan lain-lain. Pada suatu hari nanti, orang-orang bisa mengumpulkan semua tulisan Emha Ainun Nadjib yang berpijak Jogjakarta bila ingin mengetahui silam dan arus perubahan yang terjadi.
Pada 1991, Emha Ainun Nadjib menulis Jogjakarta melalui situasi jalan. Pengamatan jeli dibahasakan secara sinis: “Di jalanan Kota Jigja, anda berpapasan dengan rendahnya pemahaman dan kesadaran etika, dengan psikologi kekuasaan, dengan egoisme, atau intoleransi sosial, dengan keliaran, atau terkadang kenakalan dan keputusasaan.” Kota-kota di Indonesia yang sedang berpesta kemajuan dengan pertambahan sepeda motor, mobil, bus, dan lain-lain. Jalan-jalan makin ramai dan amburadul. Jogjakarta pun berubah akibat jalan.
Emha Ainun Nadjib melihatnya sebagai pementasan yang buruk: “Bus-bus menjadi priyagung yang berhenti kapan saja mau berhenti dan meletakkan pantatnya di depan puluhan kendaraan lain di mana saja ia mau. Motor dan becak melintas ke arah kanan dulu baru–kalau ingat–memberi tanda. Yang berlangsung dalam ‘film lalu lintas’ adalah irama-irama pribadi, bukan kerja sama atau kesadaran kolektif.” Ingatlah itu Jogjakarta masa 1990-an. Tulisan yang tidak dilengkapi foto tapi kita merasa ikut berada di pinggir jalan untuk mengetahui nasib Jogjakarta.
Kini, Emha Ainun Nadjib tak lagi muda. Angka usianya terus bertambah. Alamatnya tetap di Jogjakarta. Kita masih mengetahui segala omongan dan tulisannya asal rajin “berkunjung” dan membuka “mata kesadaran” atas pelbagai hal. Jogjakarta hari ini tidak lagi terlalu masuk dan hadir dalam tulisan-tulisannya. Emha Ainun Nadjib bukan lelah atau bosan. Perkara usia dan situasi zaman kadang menimbulkan semrawut yang kerterlaluan tapi Emha Ainun Nadjib tetap teringat di Jogjakarta.
Bandung Mawardi.
Lahir di Karanganyar, 18 Januari 1981.
Pedagang buku bekas, kolektor kamus, penulis buku, pengulas iklan, dan tukang kliping.