
Bahu Dhanyang Kotagede, Warisan Budaya Takbenda (WBTb)
Erwito Wibowo
Pendahuluan
Seksi Warisan Budaya Tak Benda di Dinas Kebudayaan ( Kundha Kabudayan) kota Yogyakarta jln Kemasan No 53 Kotagede bekerja sama dengan pihak kedua PT Kirana Adhirajasa (JTTC) jln Arimbi No 1 Kragilan, Sinduadi, Mlati, Sleman, didampingi Balai Pelestarian Nilai Budaya, pada program 2024 ingin mendaftarkan 3 WBTb (Warisan Budaya Takbenda) yaitu :
(1) Bahu Dhanyang, (2) Tenongan dan (3) Rewang
ke Tim Pengelola Data/Sekretariat Pusat Pencatatan WBTb, Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan gedung E, lantai 10, jln Jendral Sudirman, Senayan Jakarta.
PT Kirana Adhirajasa sebagai pihak kedua menunjuk 3 orang narasumber sebagai maestro, dengan kriteria berdasarkan indikator adalah seseorang yang telah berusia 50 tahun, menguasai konteks, punya peran dalam konteks pewarisan, diakui dalam komunitasnya. PT Kirana Adhirajasa memilih 3 orang nama yaitu :
(1) Erwito Wibowo sebagai maestro Bahu Dhanyang beralamat di kampung Dolahan KG 3/580 Kotagede Yogyakarta.
(2) Bambang Trisula sebagai maestro Tenongan beralamat di jl Poncowinatan No 67, Cokrodiningratan, Jetis, Yogyakarta.
(3) Sumaryatin Juwaryuno sebagai maestro Rewang beralamat di kampung Ratmakan GM I/614 RT 24 RW 07, Ngupasan, Gondomanan Yogyakarta.
Ketiga orang maestro didampingi tim ahli yaitu Revianto Budi Santoso (arsitek) dan Transpiosa Riomada (antropologi) mengikuti proses kerja kajian melalui :
(1) tahap rapat persiapan,
(2) FGD laporan pendahuluan,
(3) FGD laporan antara,
(4) FGD laporan akhir, ditambah kajian literatur, pendahuluan metodologi dan instrumen penelitian, pengumpulan data dan dokumentasi, analisa dan sintesis data lapangan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi menjaring informasi awal mengenai karya budaya Bahu Dhanyang. Wawancara untuk mengkonfirmasi data deskripsi kepada narasumber yang berkecimpung langsung dalam karya budaya Bahu Dhanyang.
Pendokumentasian video juga dilakukan. Menggunakan kualitas video minimal 480 MP. Berupa video hasil wawancara dengan narasumber/maestro lesan. Video wawancara dikompilasi dengan latar sajian konten video.
Bahu Dhanyang Kotagede
Baiklah. Untuk Penulisan selanjutnya, hanya fokus pada WBTb Bahu Dhanyang Kotagede saja. Kenapa Bahu Dhanyang masuk sebagai Warisan Budaya Takbenda ? Masuk katagori Takbenda karena sikap budaya dan tindakan budaya masyarakat Kotagede memilih konsol berbentuk bahu dhanyang itu sebagai pilihan.
Dimana Kotagede sejak dahulu kala tumbuh dan berkembang dengan tradisi dan pola hubungan sosial yang khas memiliki sejumlah karakteristik arsitektural yang berhubungan dengan kekhasan sosial budaya tersebut.
Secara umum langgam rumah tradisional Jawa yang berkembang di Kotagede sama di tempat lainnya. Namun ada terdapat kekhasan tersendiri yang tidak dimiliki di tempat lainnya, yaitu bahu dhanyang yang muncul pada emper rumah beratap landai, merupakan kemenerusan dari atap bangunan joglo maupun limasan dan merupakan bangunan utama yang memiliki kemiringan atap agak sedikit tegak dimana membentuk struktur brunjung. Itulah keunikan dan kekhasan Bahu Dhanyang Kotagede.
Nama istilah Bahu Dhanyang tidak ada hubungannya dengan mistik maupun klenik. Sebutan Bahu Dhanyang adalah bentukan dari kata majemuk, tidak boleh diartikan secara terpisah. Sebagaimana sebutan untuk 3 rumah kampung dalam tata rakit berderet disebut Rumah Gotong Mayit. Nah, Bahu Dhanyang Kotagede bisa diartikan sebagai pundak yang kokoh kuat sebagai penyangga atap. Makna sesungguhnya yang Bahu Dhanyang memiliki adalah merupakan bagian penanda perwajahan emper yang hanya ada di Kotagede. Tidak ada di tempat lain. Termasuk bangunan di kraton Kasultanan Yogyakarta tidak memiliki bahu dhanyang, hanya memiliki konsul besi.
Tidak ada perubahan dan perkembangan pakem bentuk Bahu Dhanyang Kotagede. Yang ada hanya berupa penanda stratifikasi sosial pemiliknya. Semakin tinggi status sosial, semakin rumit ragam hias ornamen ukiran pada Bahu Dhanyang. Kalau ada pertanyaan kapan konteks keberadaan Bahu Dhanyang di Kotagede. Sejak sekitar tahun 1820 sejak rumah tradisional Jawa di Kotagede dibangun, Bahu Dhanyang merupakan salah satu elemen bagian dari kelengkapannya. Perubahan pola warna Bahu Dhanyang terjadi di Kotagede. Yang semula berwarna natural alamiah polos warna kayu, menjadi berwarna warni menyala, bahkan ada yang diprada warna emas.
Adapun rencana aksi apabila Bahu Dhanyang sudah ditetapkan sebagai WBTb, tentu saja Bahu Dhanyang Kotagede yang dimiliki masyarakat dalam kondisi merana, keropos, doyong, memperoleh sentuhan perhatian penanganan dari lembaga kebudayaan pemerintah. Sedangkan mengenai penggagas awal munculnya konsol Bahu Dhanyang merupakan karya anonim, kemudian banyak diminati dan dipilih orang sebagai pola konsol yang khas, dan sudah melintasi waktu lebih dari empat generasi. Lalu, bagaimana pola-pola pewarisan yang dilakukan oleh masyarakat Kotagede agar Bahu Dhanyang tetap lestari ? Membangun kesadaran dengan melakukan edukasi terhadap masyarakat, perihal nilai penting Bahu Dhanyang.
Bahu dhanyang senantiasa muncul pada bangunan emper, baik emper joglo maupun emper limasan yang memiliki arah hadap ke selatan.
Pada bangunan emper, terdapat batang usuk yang berhenti pada blandar, pada ujung tritis menggunakan usuk tambahan, salah satu sisinya menumpang pada blandar, sedangkan sisi lainnya memerlukan balok penumpu. Balok penumpu itu disangga oleh konsul yang disebut bahu dhanyang, yang berperan struktural untuk menjaga kedudukan ujung usuk.
Secara teknis, membuat bahu dhanyang sangat kompleks. Paling tidak diperlukan tiga batang kayu untuk mengkonstruksikannya, yaitu yang berupa batang horisontal yang menempel ke dinding atau kolom kayu, batang vertikal yang terletak di ujung, dan balok penghubung yang menempel pada blandar yang menjadi tumpuan usuk.
Adapun secara estetis bahu dhanyang sering dijumpai sebagai bagian yang paling sarat dengan ornamen. Ragam hias flora dengan bentuk daun bergerigi dan bunga, paling sering dipahatkan pada komponen ini. Bagian batang horisontal dan vertikal memiliki ukiran yang menghadap ke samping. Sementara, balok penghubung dengan tepian berprofil rumit berbangun trapesium menghadap ke depan. Dari semua arah tamu yang datang ke rumah, akan memperoleh sajian visual yang ditampilkan secara bersungguh-sungguh dengan kecermatan pengerjaan.
Spesifikasi ukuran Bahu Dhanyang Kotagede
Panjang 45 cm
Tegak 37 cm
Tebal 7 cm
Ganja penyangga blandar 25 cm
Tebal purus Bahu Dhanyang yang menempel pada sokorowo 4 cm
Lubang purus Bahu Dhanyang pada ganja penyangga blandar 2 cm.
Bahu Dhanyang adalah salah satu ciri khas yang ada pada rumah tradisional Jawa di Kotagede. Bahu Dhanyang adalah elemen bangunan yang mirip konsol atau konstruksi yang menyangga tritisan bangunan.
Dasar-Dasar Identifikasi Citra
Arsitektur adalah produk dari suatu proses yang didasarkan atas konsep tertentu. Maka citra suatu arsitektur pun adalah produk dari suatu proses yang didasarkan atas konsep tertentu. Citra tradisional suatu arsitektur merupakan pengejawantahan konsep tradisional yang diolah melalui proses tradisional.
Konsep adalah bagian dari tata nilai budaya. Konsep arsitektur tradisional Kotagede adalah bagian dari tata nilai budaya tradisional Kotagede, yakni tata nilai budaya Kejawen.
Identitas Citra Bahu Dhanyang Kotagede
Bahu Dhanyang berperan sebagai identitas dan merupakan suatu ciri khas yang menonjol atau dikenal secara luas, karena hampir rumah tradisional Jawa yang berada di pedalaman kampung halaman Kotagede menggunakan tampilan bangunan empernya menggunakan ornamen ragam hias Bahu Dhanyang. Sehingga jika seseorang menceritakan tentang arsitektur Kotagede, maka secara sadar atau tidak, sesungguhnya ia sedang berbicara tentang rumah-rumah tradisional yang memiliki bangunan emper dengan ciri khas munculnya Bahu Dhanyang yang memiliki ornamen ragam hias ukiran kayu.
Citra Dan Pencitraan
Bahu Dhanyang berperan sebagai upaya mengungkapkan citra bangunan rumah tradisional Jawa di Kotagede.
Citra adalah kualitas, keunikan, keindahan dan keunggulan suatu objek, sehingga membuat suatu objek (hasil karya kesepakatan masyarakat) mengasosiasikannya kepada ciri-ciri tertentu yang menonjol serta relatif dikenal masyarakat secara luas.
Kalau Bahu Dhanyang sebagai obyek warisan budaya tak benda, tentunya memiliki sifat-sifat, seperti : (1) Bisa ditransmisikan atau diteruskan dari generasi ke generasi, (2) Bisa secara konstan diperbarui oleh komunitas atau kelompok masyarakat sebagai respon mereka terhadap lingkungan hidupnya, interaksi mereka dengan alam dan sejarah, (3) Bisa memberikan pada masyarakat kesadaran identitas dan keberlanjutan, sehingga mempromosikan juga penghormatan terhadap keberagaman budaya dan kreatifitas manusia.
Penetapan BWTb
Pengertian Warisan Budaya Takbenda (WBTb) menurut konvensi UNESCO 2023 warisan budaya tak benda adalah berbagai praktek, ekspresi, representasi, pengetahuan, ketrampilan, instrumen, obyek, artefak dan ruang budaya yang terkait warisan budaya tak benda juga dapat berupa komunitas, kelompok, atau perseorangan yang diakui sebagai bagian dari warisan budaya mereka.
Adapun Bahu Dhanyang Kotagede didaftarkan dalam pencatatan untuk memperoleh status penetapan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb). Penetapan WBTb merupakan upaya pemerintah daerah dalam rangka menjaga nilai-nilai asli dari budaya regional kota Yogyakarta. WBTb ini merupakan filosofi sumber pengetahuan dan juga identitas budaya regional kota Yogyakarta. Upaya dan penetapan tidak boleh berhenti hanya sampai penyerahan sertifikat WBTb, tetapi harus ditindaklanjuti dengan aksi-aksi nyata sebagai bentuk tanggung jawab dalam pelestarian dan memajukan budaya regional kota Yogyakarta.
Hal terpenting setelah adanya penetapan WBTb di regional kota Yogyakarta adalah komitmen pemerintah daerah di tingkat provinsi, kabupaten/kota, pemangku kepentingan di bidang kebudayaan, dan masyarakat luas untuk terus melestarikan WBTb Bahu Dhanyang tersebut, agar tidak punah, bisa jadi diklaim oleh daerah lain, dan tetap siap setia menjaga ekosistemnya secara turun-temurun.
Untuk mewujudkan, tentu saja diperlukan sinergi yang baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemangku kepentingan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan sebagaimana amanat Undang-Undang no 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Semangat pelestarian dan perlindungan ini harus dimiliki oleh seluruh masyarakat, termasuk para pelajar sebagai generasi pewaris dan penerus kebudayaan. Baik berupa festival, seminar, sarasehan, lokakarya, atau bahkan bisa masuk ke dalam kurikulum pendidikan yang membangkitkan semangat pelestarian warisan budaya tak benda.
Tahun 2023 lalu, tercatat ada sebanyak 777 usulan Warisan Budaya Takbenda yang masuk pendaftaran pencatatan. Usulan-usulan tersebut kemudian diseleksi administrasi, rapat penilaian usulan WBTb ke-1, verifikasi, rapat usulan WBTb ke-2, dan rapat penilaian usulan WBTb ke-3.
Tahun 2023, sebanyak 25 karya budaya DIY meraih sertifikat Warisan Budaya Takbenda (WBTb) pada Apresiasi Warisan Budaya Indonesia 2023 yang digelar di Kawasan Kota Tua Jakarta, DKI Jakarta pada Rabu, 25 Oktober 2023.
Pentingnya melestarikan warisan budaya tak benda, diperlukan sebagai :
1.Identitas Bangsa
WBTb Bahu Dhanyang menjadi identitas bangsa dan menunjukkan keunikan serta kekayaan budaya Indonesia.
2.Sumber Inspirasi
WBTb Bahu Dhanyang dapat menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda untuk mengembangkan kreatifitas dan inovasi.
3.Kreativitas Lokal
WBTb Bahu Dhanyang mengandung kearifan lokal yang dapat memberikan nilai-nilai luhur dan menjadi pedoman hidup.
4.Pariwisata Budaya
WBTb Bahu Dhanyang dapat menjadi daya tarik wisata budaya dan meningkatkan ekonomi daerah.
Namun, karena Bahu Dhanyang Kotagede merupakan pilihan masyarakat Kotagede dalam memilih bentuk konsol tritisnya yang memiliki ciri khas unik dan langka, tidak ada di tempat lainnya, maka pilihan masyarakat Kotagede itu disebut sikap budaya sekaligus tindakan budaya.
Hal tersebut bisa jadi memperoleh ancaman budaya, bisa ditinggalkan masyarakat Kotagede karena berbagai faktor, baik dari dalam maupun luar. Beberapa faktor tersebut, antara lain:
1.Kurangnya pembelajaran budaya sejak dini
2.Terbuai oleh kehidupan modern
3.Kurangnya pemahaman akan pentingnya seni budaya
4.Dominasi media sosial dan hiburan modern
5.Pengaruh globalisasi
masuknya budaya asing
6.Kurangnya rasa tertarik terhadap budaya asli
Jika sikap dan tindakan budaya yang dimiliki masyarakat Kotagede memilih Bahu Dhanyang sebagai pilihan itu ditinggalkan, maka akan berdampak pada masyarakat yang lebih luas, seperti:
1.Tidak memiliki pijakan yang kuat untuk menghadapi tantangan sosial.
2.Masyarakat cenderung memiliki sifat individualis yang berlebihan.
3.Hilangnya identitas lokal, regional bahkan nasional
Untuk melestarikan sikap dan tindakan budaya, generasi muda bisa:
1.Mempelajari budaya lokal Indonesia, mengikuti kegiatan kebudayaan di Indonesia.
2.Mengajarkan budaya Indonesia ke orang lain, mengenalkan budaya ke dunia internasional.
Beberapa pemilik rumah yang masih menggunakan Bahu Dhanyang di Kotagede yang sempat tercatat dalam keadaan :
(1) Terpelihara dengan baik
(2) Tidak terpelihara dengan baik,
(3) Mengalami kerusakan, dan dibiarkan begitu saja apa adanya.
Dan masih banyak lagi yang dalam keadaan tersembunyi belum sempat diketahui, berikut ini yang tercatat :
- Wardani
di kampung Dolahan Kotagede - Niken Ambarwati
di kampung Dolahan Kotagede - Muji Rahayu
di kampung Dolahan Kotagede - Titik Sumarni
di kampung Dolahan Kotagede - Faid Puji Santoso
di kampung Dolahan Kotagede - Tri Rahardjo
di kampung Pandean Kotagede - Mulyoharjono
di kampung Pandean Kotagede - Rofi’i
di kampung Pandean Kotagede - Erwito Wibowo
di kampung Dolahan Kotagede
10.Joko Nugroho
di kampung Alun-Alun Kotagede - Rudi
di kampung Alun-Alun Kotagede - Slamet Mukri
di kampung Alun-Alun Kotagede - Wintolo
di kampung Alun-Alun Kotagede - H.Murdiya
di kampung Alun-Alun Kotagede - Ayu Tyas Warastri
di jln Mondorakan 67 Kotagede - Ngalim
di kampung Pekaten KG II/827 Kotagede - Sri Yuwanti
di kampung Pekaten KG II/844 Kotagede - Jatmiko
di kampung Pekaten utara pasar Kotagede - Ir. Saroyo
di kampung Patalan Selatan Kotagede - Ichsan Budi Santoso
di kampung Patalan Utara Kotagede - Suharjimah
di kampung Patalan Utara Kotagede - Heniy Kuswanto
di kampung Trunojayan KG II/874 Kotagede - Budiono
di kampung Trunojayan Kotagede - Suteja
di kampung Pekaten Kotagede - Ibu Wiryo Sumarto
di kampung Pekaten KG II/841 Kotagede - Abdul Kanan
di kampung Prenggan KG II/926 Kotagede - Ibu Amanah D Rahardjo
di kampung Patalan Selatan Kotagede - Setiadjid
di kampung Trunojayan KG II/880 Kotagede - Suwarti Sukarjan
di kampung Trunojayan KG II/898 Kotagede
30.ibu Widyo Iswarno
di kampung Trunojayan KG II/899 Kotagede - Hariyadi
di kampung Patalan Utara Kotagede - Bakri Mawardi
di kampung Cokroyudan KG III/578 Kotagede - H. Jazari
di kampung Dolahan Kotagede - Sri Suhartini
di kampung Bumen KG III/436 Kotagede - Jono
di kampung Dalem KG III/813 Kotagede - Mardi Suyanto
di kampung Keboan KG III/560 Kotagede - Surtikanti
di kampung Ledok KG III/884 Kotagede - Rina Widyawati
di kampung Selokraman KG III/1043 Kotagede - Gunawan
di kampung Celenan Kotagede - Ibu Mulyo Iswarno
di kampung Jagalan Kotagede. - Prawiro Sukarto
di kampung Jagalan no 61 Kotagede - Hardjodimulyo
di kampung Jagalan 64 Kotagede - Dadit
di kampung Jagalan no 46 a Kotagede - Herlan Martono
di kampung Jagalan no 16 Kotagede - Omah UGM
- di kampung Jagalan Kotagede
- ibu Martodiryo (alm)
di kampung Kebonan no 253 Jagalan - Darwanto
di kampung Kebonan no 247 Jagalan - Rahmat Hadi (alm)
di kampung Kebonan Jagalan - Suharyanto
di kampung Krintenan Jagalan - Mulyodikarso
di kampung Krintenan Jagalan - ibu Hardjo Martono
di kampung Krintenan Jagalan - Prapto Suhardjo
- di kampung Krintenan Jagalan
- Wiryo Suhardjo
- di kampung Krintenan Jagalan
- R. Feqih
di kampung Sayangan Jagalan - Sastrosudarmo
di kampung Toprayan Jagalan - Istiqomah
di kampung Toprayan Jagalan - Sastrodiwarno
di kampung Toprayan Jagalan - Sastrodikromo
- di kampung Kebonan Jagalan
- Sugiarto
di kampung Karangduren no 303 Jagalan - Abdullah Hadi
di kampung Sanggrahan no 351 Jagalan - Mulyo Pawiro
di kampung Sayangan No 57 Jagalan - Sastro Sarjono
di kampung Sayangan Jagalan - Marsudi
di kampung Celenan Jagalan - Rusmaryanto
di kampung Sayangan Jagalan - Drs. Djamhani (alm)
di kampung Selokraman Kotagede - Drs. Priyo Jatmiko di kampung Kebonan
- Drs. Hayom Widagdo di kampung Trunojayan Kotagede
- Harjo Utomo
di kampung Pandean Kotagede
Kotagede, 9 Maret 2025
Erwito Wibowo
Sekretaris Badan Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kotagede periode 2014-2017
Ketua Badan Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kotagede periode 2017-2023