Bangunan Aset Muhammadiyah di Kawasan Cagar Budaya Kotagede

Bagikan

Dewasa ini, di kawasan Kotagede mengalami pertumbuhan yang dinamis. Satu hal yang menonjol di Kotagede adalah proses urbanisasi di pinggiran Kotagede yang berdampak langsung pada pembangunan kota. Pembangunan kota merupakan salah satu dari dampak modernisasi dan pembangunan ekonomi, dimana upaya menuju modernitas ini seringkali terjadi melalui proses yang sulit dan penuh konflik. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa kegiatan pembangunan yang tidak terkendali pada kawasan ini.

- Advertisement -

Kualitas seni bangunan (arsitektur) dan seni bina kota (kawasan terencana) yang baik dan berciri unik, otentik mengharuskan kawasan tersebut patut mendapat perhatian perlindungan secara proporsional, sehingga dapat pada gilirannya mampu dijadikan aset kawasan dalam arti ketinggian nilai sejarah dan budayanya. Bukanlah sesuatu yang mudah membawa atau melanjutkan produk budaya masa lalu sebagai sebuah living tradition dalam masyarakat modern.

Tidak mengherankan apabila pembangunan fisik dari pengembangan bangunan baru, seringkali berlangsung secara parsial dan terkotak-kotak, dimana kesatuan struktur kawasan (tipo-morfologi) dan keserasian lingkungan kurang/tidak diperhatikan. Penurunan kondisi fisik, buruknya kualitas visual lingkungan dan ketidakserasian antar struktur bangunan baru dan lama mengakibatkan rusaknya citra dan karakter kawasan lama bersejarah. Kawasan bersejarah, melalui bangunan sebagai monumen historisnya, menjadi bagian dari masa lalu yang perlu diwadahi dalam kebijakan pembangunan masa kini. Bangunan melalui berbagai tipe, skala, kualitas desain akan memberikan beragam pandangan dan informasi tentang nilai dan kehidupan keseharian generasi pendahulu kita, bagaimana dengan generasi penerusnya ?

Artikel Lainnya
1 of 10

Bangunan Aset Muhammadiyah Kotagede

Aset bangunan milik Muhammadiyah Kotagede yang berasal dari masa lalu, masih relevan secara visual berada di Kawasan Cagar Budaya Kotagede, bahkan ikut memperkaya khasanah ragam budaya berupa bangunan arsitektur yang dimiliki. Seperti kantor Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kotagede, kompleks Musholla Aisyiyah dengan TK ABA nya. Bangunan Kompleks Masjid Perak yang ditempati SMA Muhammadiyah 4 Kotagede Yogyakarta. Bangunan Masjid Perak Kotagede, Kompleks Masjid Baitul Qohhar di Tegalgendu Kotagede.

Baca Juga :   Strategi Manajemen Kampung Warna-Warni di Kotagede

Kompleks SD Muhammadiyah Kleco dengan mempertahankan struktur bangunan kuncungan sebagai icon ditempatkan menjadi gerbang utama masuk halaman, yang kemudian tiruannya juga dibangun sebagai gerbang utama masuk TK ABA Kleco. Kemudian, di bangunan tengah menuju ke lantai dua, ada terdapat stilisasi gubahan struktur bangunan kuncungan. Tema kuncungan memang sengaja dipilih sebagai bentuk yang paling menonjol di masa lalu dipergunakan untuk visual kontak mata pertama masyarakat memandang seluruh totalitas kompleks bangunan SD Muhammadiyah Kleco Kotagede.

Semula bangunan kuncungan SD Muhammadiyah Kleco berada di tengah, ketika 6 lokal ruang kelas berbentuk leter E, bangunan kuncungan di tengah itu merupakan lorong beratap untuk akses lalu lalang siswa dari halaman depan menuju halaman belakang. Tahun 1966, di barat lorong beratap kuncungan untuk ruang kelas 2 yang disekat berbagi dengan ruang guru dan kepala sekolah. Tahun 1968, dikarenakan kekurangan ruang kelas, lorong beratap kuncungan ditutup dijadikan sebagai ruang kelas 4 (penulis menempati ruang kelas tersebut). Ruang kelas 2 sepenuhnya dipergunakan untuk ruang guru dan kepala sekolah.

Kemudian, selebihnya aset bangunan baru milik persyarikatan Muhammadiyah di Kotagede, kehadirannya kurang memperhatikan keberadaannya dalam ikut menunjang kualitas visual di Kawasan Cagar Budaya Kotagede. Yang penting bisa lolos memenuhi syarat perijinan mendirikan bangunan. Meskipun syarat kelolosan, sesungguhnya sangat ketat, namun itulah yang terjadi. Lagi pula kalau ingin mengejar tampilan karakter bangunan arsitektur bergaya warisan budaya, boros material yang dipergunakan dan akan membebani dari segi anggaran pembiayaan.

Sehubungan dengan usaha agar Kawasan Cagar Budaya Kotagede dalam berupaya terhadap perlindungan bagi bangunan dan kawasan bersejarah yang terkait langsung dengan pelestarian serta pemanfaatan budaya/tradisi membangun kiranya menjadi sebuah tuntutan bagi kota berbudaya. Identitas dan karakter lingkungan yang kuat terintegrasi dengan penataan lingkungan yang telah ada. Dan diharapkan akan mampu mengangkat citra tempat sebagai kawasan yang berbudaya. Didasari kondisi tersebut, penataan lingkungan dimulai dari konsep arsitektur bangunan, memerlukan pemahaman kritis melalui diskursus terbuka akan konteks lingkungan dan subtansi pelestarian.

Baca Juga :   MPLS & FORTASI SMK Muhammadiyah 3 Yogyakarta: Kreasi Tanpa Batas untuk Siswa Baru

Kemerosotan citra visual lingkungan hidup di Kawasan Cagar Budaya Kotagede, juga disebabkan karena mengalami keuzuran, dimakan waktu dan cuaca, terjadi pelapukan, kemerosotan ekonomi pemiliknya, ditambah bencana alam gempa bumi 2006.

Sehingga untuk mempertahankan struktur bangunan dengan pemeliharaan dan perawatan terkendala
tingginya biaya. Sehingga ketika sudah parah, tidak cukup tambal sulam saja. Bangunan harus masuk “ICCU” rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap bangunan tradisional yang biasa disebut bangunan bergaya warisan budaya. Atau seterusnya roboh. Hal itulah merupakan salah satu sebab “hilangnya” aset bersejarah Kotagede. Apabila kerusakan dan kehancuran tersebut tidak ditangani dengan cermat, dipastikan Kawasan Cagar Budaya Kotagede akan kehilangan identitas kawasan bersejarah.

Dalam berbagai program rehabilitasi dan rekonstruksi, salah satu aspek penting adalah adanya pendampingan, mengingat pemahaman masyarakat Kotagede sangat beragam. Nah ini, sejak sebelum gempa program penanganan tentang bangunan dan lingkungan hidup di Kotagede, belum pernah secara kelembagaan persyarikatan Muhammadiyah Kotagede dilibatkan. Ada banyak orang warga Muhammadiyah Kotagede terlibat di forum pelestarian maupun berada di kelembagaan yang ,namanya Badan Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kotagede, sejak tahun 2014-2024.

Namun tidak memiliki kewenangan di struktural organisasi kelembagaan persyarikatan Muhammadiyah Kotagede. Sedangkan yang berada di struktural organisasi, tidak tertarik dan berminat mencermati bidang tata ruang, bangunan dan, lingkungan hidup. Sehingga tidak terjadi komunikasi, dan yang terjadi jalan sendiri-sendiri.

Padahal, Kawasan Kotagede menarik perhatian dan minat lembaga-lembaga di luar masyarakat Kotagede maupun lembaga asing, ingin ikut menangani persoalan bangunan di Kotagede. Sehingga muncul kegiatan heritage dan cagar budaya. (Erwito Wibowo)


Bagikan

Leave a Reply