Festival dan Cerita

Bagikan

Yogyakarta ramai dengan festival. Di beberapa titik dan pilihan waktu, festival-festival itu memberi pemaknaan: mengingat yang silam, mengerti kini, dan membentuk masa depan. Konon, festival dengan penamaan menggunakan bahasa Jawa, Indonesia, atau Inggris menjadikan Yogyakarta makin mendapat perhatian dan kunjungan.
Pendokumentasian festival-festival berupa foto, buku, atau film dokumenter. Yang melihat dan membaca (lagi) bakal mengetahui Jogjakarta yang “memusat” di festival. Keragaman festival itu representasi dari pengisahan dan penjelasan, yang mengajak orang-orang untuk meraih “keutuhan” mengenal dan memiliki Yogyakarta.
Di kalangan seniman, ada ingatan dan kesan ingin dilanggengkan dengan adanya Festival Kesenian Yogyakarta. Kita mengakrabinya dengan sebutan FKY. Pelaksanaan sudah beberapa kali, yang mementingkan tema tapi berharap memberi dampak-dampak besar secara berkelanjutan. Yang pernah terlibat atau menghadiri FKY menata album-album kenangan meski tak semuanya bisa lestari.
Kita mengingat FKY 1993. Ingatan bukan bersumber berita atau foto-foto yang masih tersimpan. Yang menjadi rujukan adalah buku berjudul Pagelaran (1993) terbitan Bentang. Buku yang menampilkan Punakawan di sampul buku. Tampilan kejawaan, yang pembaca belum tentu menemukan kisah-kisahnya dalam buku. Buku yang mengesahkan kehadiran sastra dalam FKY 1993.
Redaksi memilih 17 cerpen dianggap mewakili perkembangan cerpen di Yogyakarta, dari masa 1950-an samai 1990-an. Pemilihan tak mudah tapi suguhan cerita memang diberikan kepada pembaca agar membaca Yogyakarta dalam babak-babak yang berbeda. Konon, buku itu dimaksudkan “untuk memetakan kembali siapa saja sesungguhnya nama-nama cerpenis yang selama ini mengisi dinamika khazanah sastra Yogyakarta.”
Nama-nama yang mudah diingat untuk sastra di Yogyakarta: Umar Kayam, Kuntowijoyo, Bakdi Sumanto, Darwis Khudori, Indra Tranggono, dan lain-lain. Ada pula nama-nama yang lama atau sempat berada di Yogyakarta untuk bersastra tapi bergerak ke kota-kota lain. Yang menulis cerita pendek di Yogyakarta pun banyak berasal dari kota-kota lain. Jadi, penyebutan “dinamika khazanah sastra Yogyakarta” itu rumit bila mengurusi KTP, aliran, geografi, studi, dan lain-lain.
Kita membaca cerita yang berjudul “Sepasang Mata yang Hilang” gubahan Indra Tranggono (1992). Kita menganggap cerpen yang tidak menjemukan jika dibaca berulang pada masa-masa yang berbeda. Indra Tranggono bercerita: “Ketika bangun, pekerjaan yang paling menakutkan Kamil adalah membuka mata. Ini pekerjaan sepele, memang. Tapi, baginya, pekerjaan itu dirasakannya sangat berat. Sebab, setiap membuka mata, ia melihat berbagai pemandangan yang sangat mengerikan.
Kamil itu tokoh dalam cerita. Kita bisa mengandaikan menjadi Kamil. Yang menyulitkan adalah membuka mata yang inginnya melihat Yogyakarta atau Indonesia. Kita mulai menyadari yang melihat adalah yang mengetahui beragam perubahan: semestinya atau misterius. Di kehidupan sehari-hari, yang dilihat gampang dan cepat tidak sama.
Penyakit yang ditanggungkan Kamil itu aneh. Kita lanjutkan: “Ketika ia memandang tempe di piring, maka yang terlihat bukan lagi tempe, melainkan tenunan jutaan baksil yang mengonggok. Dan, tatkala ia melihat air teh, yang ditatapnya bukan lagi air teh, melainkan jutaan bakteri….” Kamil tak cuma pusing dan takut. Ia dalam situasi absurd!
Kita mencomot saja masalah “mata” untuk tata kehidupan masa sekarang. Yang melihat dunia, yang mudah dikacaukan oleh benar-salah, baik-buruk, atau jelas-samar. Dulu, Indra Tranggono menulis cerita saat rezim Orde Baru memberi kutukan “sakit mata” yang sulit memastikan kenyataan dan ilusi. Kita yang gegabah menafsirkannya dapat menggunakan situasi mutakhir.
Politik-mata dan kapitalisme-mata mulai membentuk kota-kota dan desa-desa di Indonesia. Yang termanjakan mata untuk memenuhi nafsu-politik atau hasrat-bisnis. Dandanan kota dan desa tidak menginginkan tampaknya yang buruk tapi mementingkan yang “baik”, “indah”, dan “molek”.
Bermula di Yogyakarta, cerita gubahan Indra Tranggono itu keberanian dalam meralat zaman. Kita kembali ke buku yang berjudul Pagelaran. Di hadapan buku, para pembaca dianjurkan menuju alamat Yogyakarta meski hal-hal yang diceritakan tidak melulu Yogyakarta. Kita mendingan menganggapnya album “asal” dan “alamat”. Yogyakarta yang cerita-cerita. Yogyakarta yang buku untuk mengenang.

Bandung Mawardi.

Lahir di Karanganyar, 18 Januari 1981. Pedagang buku bekas, kolektor kamus, penulis buku, pengulas iklan, dan tukang kliping.

Artikel Lainnya
1 of 9
bandung mawardi

Bagikan

Leave a Reply