Kiai Masyhudi: Ketua Pertama dan Terlama dalam Sejarah PCM Kotagede

Bagikan

Kotagede selalu menyimpan sejuta cerita lewat sejarah, tokoh-tokoh, dan kearifan lokal masyarakatnya. Menyusuri gang sempit Kotagede, seperti berjalan di tengah labirin yang setiap sudutnya menyembunyikan cerita.

- Advertisement -

Perjalanan ke Kotagede tidak membutuhkan rentang waktu yang lama, kalau berangkat dari Wirokerten, Bantul. Tentu saja, perjalanan ini tidak sia-sia ketika mendapatkan info, bahwa ada salah satu tokoh pemimpin pertama Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Kotagede bernama Kiai Masyhudi.

Nama asli Kiai Masyhudi adalah Rusdi, lahir pada 1888 dan wafat pada 1972 di usia 84 tahun. Dalam artikel yang ditulis oleh Erwito Wibowo, salah satu Budayawan dan Sejarawan Kotagede, yang berjudul Matahari Melimpah di Luar Rumah, kalau nama ‘Masyhudi’ didapat ketika ia pulang dari Makkah.

Artikel Lainnya
1 of 9

Sekitar tahun 1910, Kiai Masyhudi pergi ke Makkah. Perjalanannya ke Makkah tidak lain dan tidak bukan untuk beribadah dan belajar. Hasil dari perjalanannya dalam menimba ilmu, Kiai Masyhudi menjadi tokoh yang pandai di bidang kajian fiqih, tafsir, tasawuf, dan ushuluddin.

Menyusuri Kiai Masyhudi di Gang Sempit Kotagede

Untuk menggali lebih dalam tentang Kiai Masyhudi, tandanglah ke rumah Erwito Wibowo yang berada di tengah-tengah pemukiman Kotagede. Pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya, langsung disampaikan ke Erwito Wibowo. Ia menceritakan perkenalan dan pengaruh Kiai Masyhudi di Kotagede.

Ia menjelaskan, bahwa perkenalan Erwito Wibowo dengan kepemimpinan Kiai Masyhudi di PCM Kotagede berawal dari buku yang ditulis Mitsuo Nakamura berjudul Bulan Sabit Terbit di Atas Pohon Beringin. Erwito Wibowo menjelaskan, dalam usaha menyebarkan dan mengajarkan agama Islam, Kiai Masyhudi bersama Kiai Amir membangun perkumpulan bernama Syarikatul Mubtadi pada tahun 1910. Kata  Syarikatul Mubtadi berasal dari bahasa Arab—Syarikatul memiliki arti “Perkumpulan dan Mubtadi ialah “Utama”. Secara harfiah, Syarikatul Mubtadi bisa diartikan sebagai “perkumpulan utama”.

“Gerakannya hanya sederhana saja, mendidik orang dan masyarakat umum dengan benar secara keilmuan, karena agama dilakukan dengan ilmu. Pada masa itu masyarakat menjalankan agama hanya ikut-ikutan saja. Misalnya, puasa ya ikut puasa tapi tidak mengerti tuntunannya, belum tahu tata cara secara keilmuan bagaimana melaksanakan puasa dengan benar, mulai dari niat dan ajaran lainnya. Salat juga, mereka melakukan wudu tapi tidak tahu. Hal Itu yang menjadi keprihatinan tokoh-tokoh masa itu, sehingga mendirikan organisasi bernama Syarikatul Mubtadi,” terang Erwito Wibowo.

Bahkan Syarikatul Mubtadi bisa diklaim sebagai gerakan yang lebih dulu ada daripada Muhammadiyah yang lahir pada tahun 1912. Pada tahun 1916, Syarikatul Mubtadi melebur ke Muhammadiyah. Para toko yang ada di Syarikatul Mubtadi menganggap, kalau Muhammadiyah merupakan gerakan yang selaras dengan semangat dakwah mereka.

Baca Juga :   Akhid Widi Rahmanto Ketua Takmir Masjid Adz-Dzikra Cokroyudan Kotagede

Maka lahirlah Muhammadiyah di Kotagede yang dikenal sebagai PCM Kotagede. Ketua pertama PCM Kotagede ialah Kiai Masyhudi, periode 1916 ‒ 1940. Selama 24 tahun Kiai Masyhudi memimpin PCM Kotagede dan menjadi pemimpin terlama sepanjang sejarah kepemimpinan PCM Kotagede.

Dalam masa kepemimpinannya, pada tahun 1923, Kiai Masyhudi mewakafkan harta bendanya. Pertama ia mewakafkan tanahnya untuk PKU Muhammadiyah. Kemudian, Erwito Wibowo mempertanyakan, tentang Kiai Masyhudi yang mewakafkan tanahnya untuk gedung dan musala Aisyiyah.

“Kenapa tidak Muhammadiyah? Mestinya Muhammadiyah dulu, bukan Aisyiyah. Di masa kecil saya, gerakan yang berhubungan dengan Muhammadiyah dilakukan di gedung tersebut, mulai dari pemuda Muhammadiyah, Pencak Silat Senopati, dan lain sebagainya. Muhammadiyah sendiri kalau rapat di musala Aisyiyah, karena belum punya gedung. Muhammadiyah baru punya gedung di pekarangan halaman rumah Bapak Jamal yang sekarang menjadi rumahnya Bapak Abdul Gafur.”

Masjid Perak Kotagede

Dari keterangan Erwito Wibowo, pembangunan Masjid Perak Kotagede merupakan salah satu program dari kepemimpinan Kiai Masyhudi yang masih berdiri sampai sekarang. Pada tahun 1940, Masjid Perak Kotagede diresmikan. Pembangunan masjid perak dilatarbelakangi oleh keprihatinan tokoh Muhammadiyah di Kotagede yang menggunakan Masjid Gede Mataram untuk aktivitasnya seperti pengajian akbar dan sebagainya.

Kewenangan Penggunaan Masjid Gede Mataram ada di Keraton. Abdi dalem tidak punya kewenangan. Ketika Muhammadiyah menggelar pengajian dan sebagainya, harus izin ke Keraton. Proses perizinan juga berjalan lama. Dengan proses pemberian izin yang lama itu, akan sangat mengganggu perencanaan yang sudah diprogramkan. Sering kali ada kegiatan di waktu tertentu, sementara izin dari Keraton belum turun. Jadi tingkat kesulitan meminta izin menggunakan Masjid Gede Mataram sangat luar biasa.

“Permasalahan kedua, khotbah-khotbah yang ada di Masjid Gede Mataram menggunakan bahasa Arab. Penghafal bahasa Arab sedikit. Materinya cuma lima dan diulang-ulang karena ia hanya hafal itu. Bahasa yang dimaksud bukan ayat-ayatnya, tapi bahasa sebagai pengantar, dan mengutipnya tetap di ayat suci. Jadi masalahnya itu, penghafal tidak banyak dan tidak dimengerti oleh orang. Jadi Muhammadiyah menginginkan kalau khotbah menggunakan bahasa Jawa. Dulu Jawa lho, bukan bahasa Indonesia, agar bisa dipahami dan diamalkan.”

Erwito Wibowo meneruskan, indikasi lain Muhammadiyah mendirikan masjid perak, karena son sistem masih kurang baik. Sehingga dari ruang utama ke bangsal Masjid Gede Mataram—khotbahnya tidak terdengar. Muhammadiyah punya gagasan, kalau harus ada mimbar di tengah. Khatibnya berada di tengah, bukan di depan agar semua jamaah bisa mendengarkan khotbah dari khatib.

Baca Juga :   Mengenang (Cerita) Kota

Ide dan gagasan itu tidak serta-merta diterima oleh pengurus Masjid Gede Mataram. Muhammadiyah kesusahan saat itu, karena kewenangan ada di keraton. Maka dari itu, dibangunlah masjid perak, supaya kepentingan dan dakwah Muhammadiyah tersampaikan tanpa kehalang administrasi dan lain sebagainya. Pada tahun 1940 berdirilah masjid perak dengan takmir pertama ialah Kiai Amir. 

Kiai Masyhudi di Keluarga

Setelah melawat keluar, penting juga apabila melawat ke dalam (keluarga). Mencari jejak Kiai Masyhudi di Kotagede, bukan persoalan yang susah. Terlebih lagi, ketika menanyakan kepada orang yang sepuh, tentu saja mereka akan sangat fasih menceritakan kisah semasa hidup Kiai Masyhudi.

Laki-laki yang lahir di kampung Boharen tersebut, merupakan sosok panutan utama keluarga. Dalam pertemuan dengan Muftiyah, salah satu keturunan Kiai Masyhudi, menjelaskan bahwa sebagai sosok kepala keluarga, Kiai Masyhudi selalu memberikan pendidikan yang terbaik kepada anak dan cucunya.

Kiai Masyhudi selalu memberikan contoh yang terbaik, misalnya kalau masuk waktu magrib, ia selalu mengajak semua anak dan cucunya untuk salat berjamaah. Dengan keluarga yang lain, setiap pagi, setelah subuhan dan habis baca quran, ia jalan-jalan ke tempat saudaranya di daerah Boharen, Selokraman, sampai ke Jayapraman. Setiap pagi ia keliling untuk menemui semua keluarga

“Biasanya beliau menanyakan hal-hal yang sederhana yang biasa dilakukan oleh keluarga dalam rumah tangga. Misalnya, ditanya sudah salat atau belum? Mau sekolah, ditanya sudah sarapan atau belum? Dan sebagainya. Beliau selalu dekat dengan seluruh keluarga dan saudara yang lain, meski saudara jauh pun tetap diperhatikan,” cerita Muftiyah.

Ia melanjutkan, Kiai Masyhudi setiap hari memberikan contoh kepada anak-cucunya untuk selalu rukun di dalam rumah tangga. Sehingga sampai sekarang, anak-cucunya masih teringat akan nasihat-nasihat yang diberikan. Dengan saudara yang lain, Muftiyah masih mempunyai ikatan, meskipun tergolong saudara jauh. Lalu dalam keluarga mendirikan pertemuan setahun sekali.

Selain menjadi tokoh masyarakat, Kiai Masyhudi juga dikenal sebagai pedagang di masanya. Setiap hari, ia berjualan di toko Kismoyogo, di sebelah timur kantor pos, Kotagede. Toko tersebut menjadi mata pencaharian utama dan tetap. Ia membuka toko dari jam 08.00, siang istirahat salat, kemudian dibuka kembali jam 14.00 ‒ 16.00.

“Jadi pekerjaan beliau itu jualan. Dulu beliau itu jualan bahan-bahan tenun. Pada pemerintahan Jepang, tokonya dibakar oleh tentara Jepang. Setelah kejadian itu, berubah menjadi toko kitab. Beliau itu jualan buku-buku agama, quran, dan lain sebagainya. Setelah lama kemudian, jualannya berubah menjadi toko besi.”

Sampai sekarang, usaha Kiai Masyhudi diteruskan oleh anak-cucunya. Selain itu, kegiatan setiap hari Kiai Masyhudi mengajar baca al Quran di langgar Mafaza bakda salat maghrib.

Penulis: Achmad Sudiyono Efendi


Bagikan

Leave a Reply