Mengenang (Cerita) Kota
Orang-orang membedakan kenikmatan mengenang kota melalui novel, cerita pendek (cerpen), dan buku sejarah. Mereka yang mengetahui batas-batas untuk percaya itu merujuk fakta atau berterima dengan sodoran imajinasi yang diolah pengarang. Maka, kata-kata yang disusun pengarang dengan beragam gaya bakal menentukan selera pembaca memasuki masa lalu kota. Ada yang berpamrih melek sejarah. Ada pula yang sekadar mengerti cerita.
Buku yang masih penting bagi kita mengenang Kotagede (Jogjakarta) tentu yang memuat cerita-cerita gubahan Darwis Khudori. Buku itu berjudul Orang-Orang Kotagede. Yang terbaca bukan deret peristiwa sejarah atau rangkaian fakta yang dapat dibuktikan kebenarannya. Pembaca berada di hadapan cerita-cerita yang mungkin condong “menghidupkan” Kotagede dalam imajinasi yang bergerak ke segala arah.
Darwis Khudori mengungkapkan: “Kejadian-kejadian dramatik yang berlangsung dalam cerpen-cerpen saya masih merupakan kejadian-kejadian yang secara individu mungkin menarik, tetapi belum menunjukkan adanya mata rantai sejarah, bahwa kejadian-kejadian tersebut merupakan bagian dari suatu sistem sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang lebih besar, hasil suatu proses sejarah yang panjang.” Penghadiran kejadian dan latar waktu dalam cerita memang bisa berkaitan penggalan-penggalan sejarah: gamblang atau samar.
Kita mengutip dari cerita yang berjudul “Seorang Juragan di Kotaku”. Cerita yang memuat rekaman kuat atas lakon kota masa lalu. Yang dikisahkan: “Di kota kecilku, hiduplah seorang juragan besar. Toko peraknya ada tiga biji. Satu menghadang turis yang mau masuk kotaku dari arah utara. Satu di pusat kotaku yang fantastik itu. Satu mencegat kau wisatawan di pintu barat kotaku. Dia juga punya cabang di Jakarta dan jaringan pemasaran di kota-kota besar dunia.” Kita membayangkan, kota bertumbuh dan ramai dengan adanya toko-toko. Pengisahan yang mementingkan perdagangan dan industri pariwisata. Di Indonesia, kota-kota memang bersaing dalam raihan pendapatan melalui perdagangan dan pariwisata. Konon, kota dijamin besar dan tenar.
Pada mulanya, kota-kota ingin bersejarah dan beridentitas. Namun, tata hidup setelah Perang Dunia II banyak berubah. Di Indonesia, kota-kota menentukan nasibnya tanpa perlu kekhasan. Yang terjadi justru peniruan terhadap kota-kota di Eropa dan Amerika Serikat. Misi yang ingin diraih adalah pengakuan sebagai kota “modern” atau memenuhi kaidah-kaidah global. Toko-toko dan bujukan pariwisata ikut mengesahkan pertumbuhan kota yang kadang menyurutkan kepemilikan sejarah dan angan pelanggengan identitas.
Cerita pendek yang dibuat Darwis Khudori agak memberi petunjuk perubahan kota menjadi ramai atau sepi dipengaruhi toko-toko. Di situ, ada kepentingan komersial dan penguatan fondasi perekonomian kota. Artinya, toko-toko juga mengabarkan taraf pendidikan, jenis-jenis pekerjaan, tata keluarga, dan gejolak-gejolak sosial-kultural. Di Kotagede, toko-toko yang bernama dan masih memiliki papan atau tanda pendiriannya kadang menguak beragam hal, yang dapat terbaca melalui biografi keluarga atau sejarah kota.
Kita sepatutnya membuka buku berjudul Perubahan Sosial di Jogjakarta (1981) yang disusun Selo Soemardjan. Disertasi yang memukau, mengesahkan kehormatan akademik Selo Soemardjan saat berkuliah di Amerika Serikat. Ia mengerti Jogjakarta, menaruhnya dalam disertasi yang berhak disebut babon bagi orang-orang ingin paham Jogjakarta yang silam. Kita dalam arus bacaan sosiologi tapi tetap memberi kesan-kesan sejarah.
Selo Soemardjan menjelaskan perubahan nasib kaum priyayi, pertumbuhan pegawai negeri, dan keistimewaan kaum pedagang. Kita mengutip saja yang berkaitan Kotagede: “Selain itu, ada isteri yang menunjukkan keahlian tinggi dalam mengelola perusahaan kain batik dan perusahaan perhiasan perak dan emas, kecil maupun sedang. Dengan mengikatkan diri pada sektor perdagangan yang terbatas pada suatu kelas, maka istri priyayi itu hanya berhubungan dengan para istri priyayi lainnya dan tidak pernah dengan orang-orang di luar kelasnya. Mereka pergi ke pasar untuk melakukan transaksi dalam dua sampai tiga kali seminggu. Satu-satunya kelompok di luar kelar priyayi yang berhubungan dengan mereka adalah pedagang emas, perak, dan perhiasan yang kaya di Kotagede.”
Bagi yang ingin menikmati cerita dengan bobot-bobot imbuhan memang penting membaca buku-buku sejarah, antropologi, atau sosiologi. Maka, pembaca cerita-cerita mengenai Kotagede yang disodorkan Darwis Khudori tak sekadar berhenti di kaidah-kaidah sastra tapi berlanjut dalam renungan-renungan yang mengikutkan pelbagai keilmuan.
Bandung Mawardi.
Lahir di Karanganyar, 18 Januari 1981. Pedagang buku bekas, kolektor kamus, penulis buku, pengulas iklan, dan tukang kliping.