Pohon, Sungai, Pantai
Sejak puluhan tahun lalu, orang-orang sudah keranjingan menulis Jogjakarta. Mereka menggubah puisi untuk kenangan atau “warisan”. Ada yang mengaku puisi-puisi tak memadai tapi kata-kata memang wajib dituliskan, sebelum semua berlalu dan ingatan merapuh. Maka, mereka yang menulis puisi sebenarnya tidak ingin terpisah atau kehilangan Jogjakarta. Yang memberi puisi, dari masa ke masa, berarti memberi petunjuk bagi pembaca ikut hadir dan terlibat di Jogjakarta.
Kita memilih beberapa puisi agar “membaca” Jogjakarta tetap belum rampung. Pada 1975, Ria Oetoro menandai Jogjakarta dengan alun-alun dan pohon beringin. Ia berada di tempat yang memang menjadi tanda kuat atas geliat sejarah dan perkembangan Jogjakarta. Ria Oetoro dalam puisi berjudul “Yogyakarta” memberi rekaman pendek: Sepokok beringin tua yang/ kesepian/ merenungi silsilah/ berkepanjangan/ mengapa tergesagesa – senjahari/ belum lagi tiba.
Ia berada di Jogjakarta, memilih tempat yang simbolis. Ia menatap pohon beringin. Kesadaran ruang dan waktu berbarengan dalam mengartikan Jogjakarta. Ia yang menjelang senja. Pohon itu tegak, yang membuat orang mengerti ada yang tegak dari masa lalu dan kesaksian zaman yang menanti para penafsirnya.
Jogjakarta pun sungai. Sekian sungai telah terceritakan. Puisi ikut “mengekalkan” meski saat membacanya harus melihat ulang sungai-sungai yang berubah. Andre Hardjana (1963) menggubah puisi berjudul “Sungai Progo”. Sejarah turut mengalir di sungai-sungai, yang mengingatkan keindahan, perang, bencana, kemakmuran, asmara, dan lain-lain.
Kita mengenang bersama sungai, menilik silam: Sungai Progo/ Kaulah kelana lata jang loba/ Semakin muram/ Lantaran alam jang dendam/ Merapi bisul api di matar air/ Memuntah pasir segan mengalir. Kita seolah ikut memandang sungai berlatar gunung. Selanjutnya: Semakin dendam/ Tiada lagi bertjerita/ Tentang padi-padi gemerisik/ Sedang para petani lelap tek terusik.
Sungai yang menentukan nasib pertanian. Sungai tak sekadar air. Di situ, ada peristiwa dan ketokohan, yang membuat orang-orang menyadari kehidupan dalam tegangan kenyataan dan imajinasi. Sungai yang menyapa desa-desa, yang membentuk biografi para penduduk. Sungai itu kehidupan sekaligus kematian. Sungai yang mengalirkan bahagia, yang pernah mengaruskan nestapa.
Jogjakarta tak selesai cuma dengan alun-alun, sungai, dan gunung. Kita terus mengenang dengan rujukan pantai. Yang menggubah puisi pantai itu bernama Ragil Suwarda Pragolapati. Puisi agak panjang, yang digubah 1981-1985. Kita menuju pantai, menuju pengalaman-pengalaman ragawi dan batiniah.
Di puisi berjudul “Senjakala Parangkusumo”, Ragil Suwarna Pragolapati mengisahkan: Kembali cintamu mengembang. Bersabung gemuruh/ samudera/ Semangatmu berlambang gelombang. Gaung pun/ mengangkasa/ Di sini, kau padatkan seluruh peristiwa, jadi/ riwayat/ Uang bukan segala-galanya, kau berbuat biarpun melarat. Yang terbaca adalah berfilsafat hidup di pantai. Di sana, keindahan dan keperkasaan terasakan tapi berfilsafat hidup atau menekuni hikmah-hikmah hidup itu keutamaan: dari asmara sampai uang.
Konon, pantai biasa menguak kebebasan dan kegembiraan. Yang berada di pantai mengetahui diri yang lemah dan ringkih tapi bakal berkekuatan besar saat selaras dengan ombak, langit, matahari, atau bulan. Di pantai, kehadiran bukan sekadar sebagai turis. Pantai menjadi tempat yang mengembalikan siasat pemaknaan manusia, alam, dan Tuhan.
Yogyakarta itu pantai-pantai. Yang ditulis Ragil Suwarna Pragolapati sejenak mengungkapkan pantai dalam alur hidup yang keramat dan berubah dalam risiko-risiko kerusakan. Kita mengutip: Bumi-langit-laut jadi saksi segala pengabdian dirimu/ Diluupakan manusia, tinggal debu, remah polusi/ waktu/ Tapi tetap kau kerjakan, kapan saja muncul/ panggilan/ Urusanmu hanya dalam hati-nurani, setia pada Tuhan!/ Di sini hidupmu melaut. Pun segala mimpi/ membumi/ Harapan itu enggan susut. Terus melangit, tinggi/ Datang! Kehadiranmu ini, niscaya selalu berulang/ Di hatimu ada pesona senjakala pun enggan hilang.
Kita yang merasa ikut hadir di pantai mungkin memilih peristiwa dan bahasa yang berbeda. Pada suatu masa, pantai terlalu berimajinasi turistik. Kita kadang ingin mengembalikan yang “alamiah”. Kehadiran di pantai ingin dalam renungan, tak sekadar berhasrat foto dan pesta pora. Pantai di Jogjakarta, pantai yang ditulis dalam puisi. Kita membaca dari kejauhan saat pantai-pantai makin ramai.
Bandung Mawardi.
Lahir di Karanganyar, 18 Januari 1981. Pedagang buku bekas, kolektor kamus, penulis buku, pengulas iklan, dan tukang kliping.