Sungai Gajahwong

Bagikan

Oleh Erwito Wibowo

- Advertisement -

Pendahuluan
Mengingat bahwa penggal sungai Gajahwong di masa Mataram dijadikan batas keamanan wilayah yang disebut ‘jagang’ atau ‘parit pertahanan’ posisi terletak di sebelah barat. Memang, kekuasaan Mataram mengambil ‘jagang’ sebagai ‘parit pertahanan’ berupa bentukan alam, bisa berupa sungai maupun cekungan lembah dangkal untuk batas wilayah keamanan sebelum menjangkau pusat geografi kekuasaan Mataram.
Sungai Gajahwong di sebelah barat. Di sebelah utara, lembah yang menyatu dengan sungai Gajahwong (kini menjadi rintisan awal bangunan kampus STTL Yogyakarta) menuju arah timur menjadi perumahan Sendok Indah, kompleks SMA Negeri 5 Kotagede, deretan bangunan milik Harto Ingan, Perumahan Kehakiman, kantor Dinas Kebudayaan kota Yogyakarta, kompleks kelurahan Purbayan, kampung Jagangrejo sampai berpotongan dengan cekungan lembah dangkal dari arah utara. Di persimpangan tersebut, yang semula berupa area agraris, di kemudian hari tumbuh tata rakit bangunan tradisional Jawa, pendopo, limasan dan kampung milik pak Amir mantan DPRD propinsi DIY. Kemudian ada bangunan semacam balai gedung serbaguna.

Bekas jagang Mataram di sisi timur menuju arah selatan, banyak area agraris tanah kas desa kapanewon Banguntapan yang disewa penduduk sekitar untuk usaha penggemukan ikan air tawar. Kemudian ada dua bangunan rusunawa. Terus ke arah selatan, menjadi kompleks masjid dan toko, serta kompleks lembaga pendidikan SDIT Abu Bakar, dulu statusnya tanah kas desa milik kapanewon Banguntapan, terjadi tukar guling sehingga kantor kapanewon Banguntapan berada di jalan Karangturi menuju Ngipik. Dari kompleks SDIT Abu Bakar sampai ke selatan masuk ke sungai Manggisan, Blado dan cekdam Merengan, area bentukan alam dijadikan batas wilayah keamanan yang disebut jagang.
Batas wilayah ke arah barat, juga daerah cekungan lembah dangkal di masa lalu menjadi area perkebunan tebu berada di selatan desa Sareman, menuju alur penggal sungai Gajahwong.

Artikel Lainnya
1 of 12

Dikarenakan ‘jagang’ alamiah penting bagi Mataram di masa lalu. Nah di masa sekarang, statusnya tentu saja menjadi bagian dari peninggalan sejarah Mataram, termasuk bagian dari zonasi Kawasan Cagar Budaya Kotagede, berdasarkan dokumen tata ruang seluas sekitar 200 hektar.

Wajah Tata Ruang Sosial Budaya Binaan

Meskipun hanya berupa sebuah konsep verbal tertulis, sebaiknya BPKCB Kotagede memiliki inisiatif menyentuh dari sisi pemikiran melakukan tata ruang binaan lingkungan sosial budaya di wilayah penggal sungai Gajahwong yang berada di wilayah Rejowinangun, Prenggan, Jagalan dan Singosaren. Sebagian penggal sungai Gajahwong di area situs Mbelehan – Padas Temanten telah ditalud bronjong di kedua sisi sungai. Termasuk dibangun koridor jalan tepian sungai di barat sungai dan timur sungai sampai jembatan Gajahwong di selatan.

Tahun 2010 sebuah LSM namanya Tata Mandiri melakukan kegiatan dengan tema Air Untuk Kehidupan. Event peristiwa budaya itu dilakukan untuk mengedukasi masyarakat di tepian sungai Gajahwong. LSM Tata Mandiri bekerja sama dengan Balai Besar Urusan Pengairan, Balai Lingkungan Hidup, dan beberapa pemerhati dan peminat pemukiman, lingkungan hidup dan bangunan tepian sungai. LSM Tata Mandiri membangun panggung di tengah sungai Gajahwong, persisnya di barat Ladang Darakan Barat. Di panggung yang berada di tengah sungai talk show dilakukan dengan menghadirkan kepala dinas yang kompeten di bidangnya. Ada performa pertunjukan di tengah sungai berupa ‘ritual menyenandungkan mantra pemanggil ikan’ serta menafsirkan ulang ‘dolanan ciblon’ di sungai menjadi peristiwa budaya. Ditunjang penampilan pantomim dilakukan oleh Jemek Suprardi. Artistik panggung dikerjakan oleh Gedon Tohyora.
Namun, sayangnya event edukasi yang dikemas dalam peristiwa budaya tersebut tidak berkelanjutan.

Baca Juga :   Mutiara Nusantara Yang Terlupakan

Kemudian, di tahun 2016, Forum Komunikasi Daerah Aliran Sungai Gajahwong (Forsidas) merasa perihatin melihat kondisi sungai Gajahwong, dengan adanya polusi air yang sangat tinggi, dampak dari kurangnya kesadaran masyarakat yang memiliki perhatian terhadap lingkungannya sendiri di tepian sungai Gajahwong.

Forsidas mengagas menyelenggarakan Festival Gajahwong pada Minggu 21 April 2013 dengan tema “Diversity of Culture to Hamemayu Hayuning Bawana” bekerja sama dengan mahasiswa KKN Universitas Pembangunan Negara ‘Veteran’ Yogyakarta.

Kegiatan dimulai dengan membersihkan sampah sungai Gajahwong oleh masyarakat tepian sungai, berbagai macam lomba, pemutaran film tentang mengelola sungai, pameran foto, menghidupkan belik, mata air di tepian sungai Gajahwong yang masih ada. Ada pasar keramaian dari UMKM.
Area Festival Gajahwong dimulai dari jembatan Gajahwong sampai cekdam mantras Mrican.

Namun sayangnya, tidak berkelanjutan, nafasnya pendek.

Reportase liputan dan ditulis oleh Erwito Wibowo


Bagikan

Leave a Reply