Bocah di Kota
Orang-orang mengingat Jogjakarta dengan lagu. Jogjakarta yang terdengar merdu. Jogjakarta pun puisi-puisi. Kita mengetahui keindahan, keakraban, kehangatan, dan keluguan. Jogjakarta tentu foto-foto dan film-film. Pada suatu masa, Jogjakarta berada di kaus-kaus oblong. Jogjakarta yang tidak pernah selesai diceritakan atau dikenang dengan beragam wujud.
Para pembaca buku-buku garapan Muhidin M Dahlan akan mudah melacak Jogjakarta, dari masa ke masa. Pembaca buku Abdurrachman Surjomihardjo dan Selo Soemardjan mengetahui sejarah dan arus perkembangan sosial di Jogjakarta. Jogjakarta itu bacaan. Kita bakal kewalahan bila berjanji mau khatam seribu buku. Yang ingin kembali untuk mengenang atau mengetahui Jogjakarta tidak sepenuhnya berada di depan buku-buku cap akademik atau babon.
Kita kadang merasa diajak kembali ke Jogjakarta masa lalu melalui cerita anak. Yang mengantar kita bernama Mohammad Sobary. Ia dikenal dengan kolom-kolom dan beragam buku bertema sosial, agama, dan kebudayaan. Orang-orang biasa menyebutnya intelektual atau budayawan. Pada suatu masa, ia pun pernah menjadi pejabat.
Yang mengajak kita mengakrabi Jogjakarta adalah buku berjudul Aku Pasti Kembali. Cetakan pertama, 1981. Yang kita baca cetakan kedua, 1984. Dulu, buku pernah menjadi koleksi di SD Muhammadiyah, Mulyoagung, Malang. Kita mengetahuinya dari stempel warna biru dalam buku. Kita membayangkan murid-murid di Malang membacanya, berimajinasi dan melacak pengetahuannya tentang Jogjakarta. Kini, buku itu berumur 40 tahun, Kita membacanya lagi dalam misi mengenang dan memasuki dunia anak masa lalu.
Dalim, bocah kelas 5 SD membuat masalah-masalah di rumah dan sekolah. Ia menanggung malu di hadapan teman-temannya. Ayah memberinya hukuman yang keras. Bocah yang terpaksa mengaku bersalah tapi tidak mengira bakal makin menambah masalah.
Ia hidup di desa. Dalim memiliki teman-teman di sekolah dan teman-teman di desa yang tidak menjadi murid. Pada masa lalu, keluarga-keluarga miskin kesulitan mengongkosi anaknya masuk sekolah. Yang dilakukan adalah menjadikan anak-anak ikut membantuk segala pekerjaan orang tua di rumah, sawah, atau ladang. Dalim beruntung bisa belajar di sekolah meski prihatin. Pengarang mengisahkan: “SD Palipakem belum punya gedung. Sejak dulu pindah-pindah tempat. Numpang di rumah orang. Rumah biasa atau pendapa rumah joglo. Waktu itu sudah pindag dari Kalipakem ke Ngerco, di rumah Pakde Tomo.” Lakon pendidikan yang sulit maju dan bermutu.
Dalim tidak sanggup mendapat hukuman bapak. Ia pun merasa tidak mendapat belas kasih dari ibu, paman, dan bibi. Keputusan dipicu marah: minggat dari rumah. Ia memberanikan diri pergi meninggalkan desa, berjalan menuju kota. Lelah dan kapok mendapat marah, Dalim ingin mencari lakon hidup yang berbeda. Kota adalah alamat yang dibayangkan dapat menyelamatkannya dari kutukan dan hukuman. Rumah dan sekolah berhasil ditinggalkan dengan berjalan kaki mengikuti arah tiang listrik. Ia yakin tiang-tiang itu yang bakal membuatnya berhasil sampai ke kota.
“Ia sampai di tempat penjualan buah-buahan di pinggir jalan di depan Shopping Centre Jogja,” tulis Mohammad Sobary. Dalim berada di kota, menyaksikan lakon tidak membahagiakan: “Tiba-tiba datang seorang anak kecil, hampir sama besar dengan Dalilm sendiri, meminta-minta di situ. Ia menyodorkan kaleng untuk menampung apa yang diberikan kepadanya. Dalim menyingkir cepat-cepat. Takut kalau ia pun disangka peminta-minta.” Dalim masih memiliki kehormatan.
Akhirnya, pembaca sampai ke kenangan atas situasi kota yang menjadi rujukan bagi orang-orang mencari buku. Sisi kota yang diceritakan pengarang bisa menjadi bandingan bagi kita untuk melihat kota masa sekarang: “Di kios-kios buku yang tertutup lampu sudah dimatikan. Sekelilingnya agak gelap. Empernya agak teduh. Ia melihat beberapa anak kecil sebaya dengannya tidur berserakan seperti pengungsi korban banjir atau bencana alam lainnya. Mereka tidur nyenyak hanya dengan alas tikar koyak secuil. Ada juga yang menggunakan alas koran. Dalim belum mengenali salah seorang pun di antara mereka. Tapi sudah lelah dan mengantuk, ia nekat mendesak salah seorang, ikut menempati cuilan itu.”
Kota Jogja masa lalu, kota yang memperlihatkan bocah-bocah tak beruntung. Mereka bertaruh nasib di kota. Pemandangan mereka tidur di emper kios atau toko mengingatkan masa lalu yang belum bercerita kota makmur, indah, bersih, dan mulia. Cerita anak gubahan Mohammad Sobary itu sedikit menguak bobrok kehidupan di kota meski tidak dapat kita jadikan fakta. Yang terbaca adalah fiksi.
Dalim perlahan mengerti dirinya menjadi gelandangan. Di kota, ia mendapat teman bernama Bejo. Mereka bertahan hidup dan mengenali derita-derita di kota. Kita membaca lagi: “Malam itu, Dalim dan Bejo kembali lagi ke alun-alun. Dalim senang sekali. Alun-alun itu luas sekali. Mungkin seluas kampungnya… Banyak gelandangan berkeliaran di alun-alun itu. Bejo mengajak Dalim tidur-tiduran di bawah pohon beringin.” Para gelandangan itu paham nasib mereka tak jelas. Di kota, para polisi biasa melakukan garukan, yang menangkap dan menertibkan kaum gelandangan. Dalim makin menyadari dirinya akan terus mendapat hukuman dari beragam kesalahan. Yang menghukum tidak hanya ayah. Kota pun menghukumnya tapi ada akhirnya.
Bandung Mawardi.
Lahir di Karanganyar, 18 Januari 1981.
Pedagang buku bekas, kolektor kamus, penulis buku, pengulas iklan, dan tukang kliping.