Cerita di Desa

Bagikan

Pada masa Orde Baru, penerbitan buku-buku cerita anak dimaksudkan mengisahkan kesuksesan pembangunan nasional. Ratusan judul buku yang mendapat cap Inpres menunaikan misi-misi besar. Jutaan anak diharapkan menyadari kondisi desa dan kota. Mereka boleh mengimpikan menjadi insinyur, guru, petani, atau pengusaha yang memajukan Indonesia. Di hadapan buku-buku, anak-anak seperti mendapat imajinasi “penugasan” ketimbang hiburan.

- Advertisement -

Dulu, buku-buku anak yang “dibeli” pemerintah untuk ditaruh di ribuan perpustakaan membuktikan “politik keaksaraan”. Yang terjadi adalah laporan-laporan “kemajuan” dalam pemerataan pendidikan, pembangunan di desa, pemahaman kota, dan lain-lain. Buku-buku yang jika dibaca anak-anak kadang mirip “indoktrinasi”, yang mengarahkan mereka percaya janji-janji Soeharto dan Indonesia yang tidak ingin selalu dilabeli negara berkembang.

Pada akhir 1970-an dan masa 1980-an, Indonesia sedang “serakah” buku. Buku-buku cerita ditulis dan diterbitkan dengan terlalu bersemangat. Indonesia tidak diragukan “mabuk” buku tapi tidak dijamin memberikan dampak-dampak yang menggembirakan. Banyak kesaksian yang menyatakan buku-buku membisu di perpustakaan tanpa ada anak-anak yang memegang, meminjam, atau membacanya.

Artikel Lainnya
1 of 9

Dwianto S memberikan kritik: “Banyak penerbit merasakan cipratan ‘darah’ segar hasil proyek Inpres Pengadaan Buku Bacaan Anak Sekolah Dasar, begitu juga pengarangnya. Mereka semakin getol membuat dan membuat, hingga kemudian muncul istilah penerbit dan pengarang inpres. Suatu sindiran bagi mereka yang semata-mata memburu rezeki proyek tanpa terlalu menghiraukan kualitas.” Buku memang terbit dan beredar di seantero Indonesia. Namun, buku-buku tanpa pembaca atau gagal digemari anak-anak adalah kemubaziran.

Baca Juga :   Lebih dari Sekedar Kue: Roti Kembang Waru, Simbol Budaya dan Sejarah Kotagede

Kita tidak mengecap buku-buku Inpres itu buruk. Ada beberapa yang bermutu. Para orangtua kadang memilih mencarikan buku-buku yang bermutu dengan cara pembelian, bukan meminjam di perpustakaan. Anggaran yang digunakan membeli buku diyakini tidak sia-sia jika anak-anak yang membaca menemukan hikmah-hikmahnya. Mereka yang bosan atau lelah dengan buku-buku pelajaran berhak menikmati buku-buku cerita.

Pada 1979, terbit buku cerita berjudul Doger gubahan Triwahyono. Buku yang berukuran kecil dan tipis. Buku tidak termasuk dalam proyek pemerintah bernama Inpres. Buku yang harus diperoleh dengan cara membeli atau peminjaman di tempat persewaan buku. Yang pernah membacanya teringat SD, desa, dan Jogjakarta. Cerita yang mengandung biografi dan dokumentasi sosial.

Pembuka cerita adalah nasib bocah di sekolah. Tokoh yang bernama Tri tidak naik kelas. Setahun belajar di kelas 1, Tri dianggap gagal. Ia menjadi murid di SD Kwagon (Sleman, Jogjakarta). Rasa malu membuatnya marah dan ngambek. Di keluarga, nasibnya ditentukan dengan pindah ke SD di Balangan, yang membuatnya bisa berada di kelas 2 atau tidak mengulang sebagai murid kelas 1. Di sana, ia tinggal di rumah kakek.

Dunia anak yang tidak mutlak dalam merasakan suka dan duka. Kita menikmati penggalan cerita: “Hari Minggu aku bisa bermain-main lagi dengan bekas kawan-kawanku sekampung. Aku tidak merasa rendah diri bergaul dengan mereka karena aku juga sudah kelas 2 SD. Biasanya kami main di Gunung, mencari burung-burung. Dengan bersenjata ketapel, kami sering pula mendapat burung emprit. Senin, aku ikut ayah ke Balangan.”

Anak-anak yang harus belajar di sekolah tapi memenuhi hasrat bermain yang mengesahkan petualangan dan kebahagiaan. Pengarang memberi cerita sekaligus mengenalkan desa-desa yang berada di Sleman, Jogjakarta.

Baca Juga :   Bersepeda ke Kotagede: Masa Lalu dan Batu

Cerita itu menguak mutu pendidikan, kesenjangan belajar dan bermain, pergaulan sosial-kultural, seni di desa, birokrasi pembangunan, dan lain-lain. Pada suatu hari, pentas seni diselenggarakan di desa. Anak-anak yang menunjukkan kemampuan, yang membuat warga di desa mendapat hiburan. Keberanian anak-anak mendapat penghargaan: “Bapak Lurah Sosro Yuwana memberi kami bingkisan, yang ternyata berisi buku tulis, yang memang kami butuhkan.” Dulu, hadiah berupa buku tulis, bolpen, pensil, dan penghapus mudah menggembirakan anak-anak. Mereka mengetahui benda-benda itu berharga.

Buku yang mengingatkan desa-desa pada masa Orde Baru lambat dalam modernisasi. Desa belum mendapat perhatian besar dari pemerintah saat masih memusatkan agenda-agenda besar di kota-kota. Yang paling tampak masih bermasalah adalah pendidikan. Buku itu tidak sepenuhnya mengabarkan kesuksesan tapi mengandung kritik-kritik yang halus. Buku tidak bercap Inpres yang terbukti bermutu.  

Cerita selesai ditulis pada 1977, dua tahun setelahnya terbit menjadi buku oleh Gramedia. Buku yang penting bagi anak-anak di Sleman (Jogjakarta) bila ingin mengetahui masa lalu desa-desa. Masa yang memuat permainan dan hiburan anak yang akrab dengan alam. Pergaulan mereka dibumbui persaingan dan usaha untuk rukun. Kini, buku lama itu dapat menjadi “pemandu” bagi yang ingin bernostalgia desa-desa di Jogjakarta.

bandung mawardi

Bandung Mawardi.

Lahir di Karanganyar, 18 Januari 1981.

Pedagang buku bekas, kolektor kamus, penulis buku, pengulas iklan, dan tukang kliping.


Bagikan

Leave a Reply