Jejak Imaji: Kelompok Belajar Sastra Yang Lahir dan (Pernah) Berdetak di Jantung Kotagede

Bagikan

Yogyakarta adalah lumbung dari komunitas sastra, sehingga banyak penulis dan sastrawan yang lahir di kota tua ini. Sastra hidup dalam komunitas yang ada di dalam kampus, kos-kosan, kontrakan, dan maya. Kelompok Belajar Sastra Jejak Imaji merupakan salah satu komunitas sastra yang hidup di Yogyakarta. Embrio dari Jejak Imaji dimulai dari kos-kosan yang berada persis di samping kampus 2 Universitas Ahmad Dahlan Jalan Pramuka No. 42, Sidikan Yogyakarta.

- Advertisement -


Pada awalnya, Jejak Imaji bernama β€œDiskusi Lawang Abang” yang digiatkan oleh beberapa orang saja seperti Iqbal H. Saputra, Aditya Dwi Yoga, Angga T. Sanjaya, Arif, Panji Punandaru dan teman-teman lainnya. Seiring berjalannya waktu, ada beberapa mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang tergerak untuk bergabung dalam Diskusi Lawang Abang. Sejak saat itu, atmosfir diskusi menjadi lebih bergairah.

Iqbal H. Saputra Penggagas Jejak Imaji
Artikel Lainnya
1 of 2


Iqbal H. Saputra (salah satu penggagas Jejak Imaji dan saat ini menjadi Ketua Dewan Kesenian Belitung) merupakan sosok yang berpengaruh akan Diskusi Lawang Abang. Bisa dibilang, Iqbal (begitu sapaannya) adalah penggagas pertama dari Diskusi Lawang Abang. Tentu, spirit untuk membentuk lingkaran Diskusi Lawang Abang tidak lepas dari keresahan Iqbal ketika melihat aktivitas mahasiswa yang kurang produktif. Bahkan ada pula yang sampai terjerumus pada kenakalan-kenakalan anak muda, seperti mengonsumsi minuman keras, dan sejenisnya. Ditambah, ruang diskusi di kampus masih sangat terbatas.


Dalam wawancara via WhatsApp, Iqbal sangat menyayangkan dengan aktivitas dari mahasiswa tersebut. Oleh sebab itu, ia melakukan pendekatan dengan karakter dari masing-masing mahasiswa untuk mengajak ke kegiatan produktif seperti diskusi dan menulis. Bisa dibilang, pendekatan yang ia lakukan secara persuasif.


Setelah berhasil mengajak dan menggugah mahasiswa tersebut, berulah Iqbal memulai diskusi dan mengajak menulis. Ia merelakan buku koleksi pribadinya diakses secara gratis untuk mahasiswa, sebab koleksi buku di perpustakaan kampus belum terlalu lengkap. Dengan semangat berkomunitas dan organisasi, ia berhasil membawa teman-teman Diskusi Lawang Abang untuk menjuarai perlombaan menulis yang ada di kampus. Dari keterangannya, ada momen di mana nominator karya terbaik di dalam kampus, semuanya diraih oleh teman-teman Diskusi Lawang Abang. Dari Diskusi Lawang Abang, lahirlah penulis kenamaan seperti Aditya Dwi Yoga, Angga T Sanjaya, dan teman-teman lainnya.

Lahirnya Kelompok Belajar Sastra Jejak Imaji di Kotagede
April 2014 menjadi bulan kelahiran dari Kelompok Belajar Sastra Jejak Imaji. Tanggal dan hari pastinya, masih menjadi misteri. Kelahiran Jejak Imaji tidak lepas dari perubahan status Iqbal H. Saputra yang sudah menikah atau berkeluarga. Sebab perubahan dalam struktur pribadinya, aktivitas Diskusi Lawang Abang sempat mau dihentikan, karena ia sudah pindah tempat tinggal ke Kotagede, setelah 4 (empat) bulan tinggal di kos-kosan secara terpisah dengan Anggun (istri). Sebab spirit dan gairah teman-teman untuk belajar serta diskusi sangat besar, Iqbal mengurungkan niat dan tetap melanjutkan aktivitas diskusi.
Dengan dukungan sang istri, Iqbal melanjutkan aktivitas diskusi di kontrakan kecil, depan kuburan tua di Prenggan, Kotagede. Kontrakan pertama itulah yang menjadi tempat lahirnya Kelompok Belajar Sastra Jejak Imaji secara resmi. Proses dan aktivitas Jejak Imaji ditegaskan atau diperkuat dengan keberadaannya Sule Subaweh. Di situlah Sule Subaweh terlibat secara langsung.


β€œDi 2014 itu, Mas Sule mulai melibatkan diri secara langsung. Kalau di Diskusi Lawang Abang, Mas Sule belum terlibat langsung. Keterlibatan langsung yang dimaksud, ialah turut ikut diskusi dari malam sampai pagi. Sebab Mas Sule saat itu sudah menikah duluan, dan tidak mungkin untuk begadang sampai malam. Ketika di Kotagede, Mas Sule semakin memompa semangat teman-teman untuk istiqamah diskusi di hari Senin,” tegas Iqbal, Minggu (14-7-2024).


Jejak Imaji memiliki hari pertemuan atau diskusi pada hari Senin sore di kontrakan pertama Iqbal. Hari Senin sore dicetus, tidak lepas dari aktivitas Ketua Pertama Jejak Imaji yaitu Angga T Sanjaya (sekarang menjadi Dosen Prodi Sastra Indonesia UAD) yang saat itu bekerja di kedai susu. Angga (sapaan akrabnya) mendapatkan kesempatan libur pada hari Senin. Oleh sebab itu, diresmikanlah diskusi Senin yang menjadi roh dari Jejak Imaji.


β€œHari Senin itulah yang dinobatkan sebagai hari pertemuan Jejak Imaji yang kemudian berjalan terus. Lalu kami mulai saling berbagi pengetahuan dengan bertemu sama teman-teman dari komunitas lain seperti Komunitas Kutub yang saat itu ada Ebet. Kemudian Ebet mengajak teman untuk ikut diskusi. Selain itu, ada anak-anak Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta bernama Edo, lalu Rendy ikut terlibat di Jejak Imaji. Mereka juga mengajak teman-teman ISI Yogyakarta yang lainnya,” paparnya.

Baca Juga :   Spirit Inklusifitas Muhammadiyah Terhadap Disabilitas Di Zaman Milenial


Sebab perkembangan itu terus berlanjut, yang menjadi permasalahan selanjutnya ialah semakin banyak teman-teman yang datang, semakin sempit pula tempat kontrakan Iqbal. Kadang kala kalau hujan, mereka berdiskusi secara berdempet-dempetan. Kemudian kalau terlalu ramai, sebagian teman-teman ada yang di dalam dan luar ruangan. Teman yang di luar, hanya kepalanya yang kelihatan apabila dilihat dari dalam ruangan. Keterbatasan ruangan tidak lepas dari kondisi kontrakan pertama Iqbal sangat kecil dan sempit, hanya bisa menampung sekitar 10-an orang. Bahkan, tempat diskusinya merupakan tempat tidur Iqbal.

Pengurus Jejak Imaji Foto Bersama Pengurus Kampung Prenggan


Melihat semakin banyaknya yang bergabung, Anggun (istri Iqbal) mengusulkan untuk pindah ke tempat yang lebih besar. Risikonya kalau pindah ke tempat yang lebih besar, ialah harga kontrakan rumah yang tidak murah. Alhasil, Iqbal tetap mencari kontrakan yang lebih besar dari sebelumnya. Tidak jauh dari kontrakan pertama, ia menemukan rumah kontrakan di Prenggan yang sangat luas dan bergaya Jawa. Setelah ditanyakan, harga kontrakan tersebut adalah 25 juta per tahun. Sebagai dosen tamu di beberapa universitas di Yogyakarta, tentu pendapatan Iqbal belum bisa membayar kontrakan tersebut.
β€œJadi kami melakukan jalan sunyi dan konyol, yaitu setiap pagi berangkat dan pulang kerja selalu lewat jalan depan rumah itu dan membaca Al-Fatihah. Dibantu dengan Al-Fatihah teman-teman yang lain. Jadi saya sampaikan ke teman-teman, mungkin setiap pulang dari diskusi Jejak Imaji, teman-teman bisa membacakan Al-Fatihah ketika lewat di depan rumah yang menjadi calon sekretariat kedua,” kata Iqbal.
Dari Al-Fatihah itulah, yang awalnya harganya 25 juta per tahun, menjadi 7 juta per tahun. Menurut Iqbal, hal itu didapatkan karena kekuatan doa. Menariknya, pemilik kontrakan pertama dan kedua memiliki kemiripan nama. Pemilik kontrakan pertama ialah ibu Riris yang merupakan pengrajin batik dan berjualan di Bringharjo. Sementara pemilik kontrakan kedua yaitu ibu Titis.


β€œAlmarhum suami dari ibu Titis ini adalah seorang pengusaha. Lalu saya sowan ke rumah beliau, untuk berdiskusi dan menyampaikan semangat kami. Ibu Titis melihat dan menyimak apa yang kami sampaikan. Dengan apa yang saya niatkan, beliau mendukung pergerakan teman-teman Jejak Imaji. Bayangkan dari 25 juta, menjadi 7 juta per tahun. Saya kira, Jejak Imaji berutang budi sama beliau,” tegasnya.

Lini Usaha Jejak Imaji di Kotagede
Kontrakan baru dari Iqbal itulah yang menjadi sekretariat kedua dari Kelompok Belajar Sastra Jejak Imaji, tempat teman-teman berdiskusi, menulis, dan bergeliat di dunia sastra. Sekitar tahun 2016, Jejak Imaji pindah ke sekretariat kedua yang juga ada di Prenggan, Kotagede. Di sekretariat kedua, Jejak Imaji mengepakkan sayap pada bidang wirausaha.

Sekretariat Jejak Imaji di Kampung Prenggan


Iqbal dan Anggun berpikir, di sekretariat ini perlu ada aktivitas ekonomi agar teman-teman di Jejak Imaji mempunyai penghasilan dan bisa berdikari. Akhirnya ia membuat usaha thrifting, kalau istilah dulu β€˜menjual baju bekas’. Ia bersama istri menjual baju, sepatu, dan celana bekas dengan mengambil karungan serta menjual per item, demi menambah perekonomian. Bahkan ia dan istri berjualan di Facebook dengan nama toko Melawa Shop.

Tidak hanya thrifting, Iqbal juga menggagas warung kopi yang bernama β€œJejak Kopi” di sekretariat Kelompok Belajar Sastra Jejak Imaji. Didukung teman-teman Jejak Imaji seperti Hendrik Efriyadi, Bintang W Putra, Angga T Sanjaya, Aditya Dwi Yoga, dan Enggar Jiwanto. Mereka membuat warung kopi karena spirit kopi di Yogyakarta sangat kuat. Dengan adanya Jejak Kopi, diharapkan bisa menambah dan mendongkrak ekonomi untuk menutup kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh Jejak Imaji.
β€œAlhamdulillah awalnya kami terseok-seok. Dalam proses pembangunannya, kami juga ditipu sama tukang yang nominalnya luar biasa, mungkin hampir 15 juta,” kata Iqbal.


Setiap hari Jumat, Jejak Kopi memiliki tradisi Jumat berkah, yaitu dengan memberikan makan kepada teman-teman santri. Setiap Jumat, Jejak Kopi menyediakan 30β€’50 piring nasi beserta lauk untuk teman-teman santri. Teman-teman di Jejak Imaji seperti Ari Nugroho dan yang lainnya, setiap Jumat pagi datang untuk memasak nasi dan lauk. Iqbal dengan jaringan relasinya yang kuat, juga minta donasi kepada sahabat, mitra, dan dosen. Ada yang berdonasi beras dan uang untuk membantu tradisi Jumat berkah di Jejak Kopi. Dari donatur itu, Jejak Kopi sangat terbantu.


Selama perjalanan Jejak Kopi, bagi Iqbal, banyak kebermanfaatan dan kebaikan yang bisa dibagikan. Warungnya pun sangat ramai. Mahasiswa, warga, anak muda, dan pengunjung turut berdatangan. Sebab keramaian itulah, ada problem baru yang dialami Jejak Kopi, yaitu ketidaksenangan salah satu warga dengan aktivitas Jejak Kopi.

Baca Juga :   Tur Titik Putih di Kotagede: Bicara Sejarah Sepak Bola dan Isu Lingkungan


Alhasil, hampir setiap malam, Jejak Kopi mendapatkan perlakuan yang kurang mengenakkan oleh oknum warga. Akan tetapi, kata Iqbal, teman-teman yang notabenenya masih muda, juga tidak gentar dengan perlakuan tersebut. Sebab baginya, nasib yang tak jelas bisa teman-teman lawan, apalagi musuh yang terang-terangan dan berwujud.


Sampai pada akhirnya, Iqbal ditegur oleh RT setempat dan dirapatkan dalam pertemuan warga. Hasil dari rapat itu, Jejak Kopi yang diwakilkan Iqbal dibuatkan surat pernyataan ke Polsek setempat. Inti dari surat pernyataan itu, bahwa Jejak Kopi tidak boleh melakukan keramaian. Bagi Iqbal, surat pernyataannya agak lucu, karena Jejak Kopi adalah warung kopi dan tidak boleh melakukan keramaian.


β€œTeman-teman tetap ngeyel untuk melanjutkan itu. Jadi dulu kalau ada diskusi rutin dan mengundang keramaian, saya harus laporan ke Polsek. Bayangkan, dari membuat acara bahkan tidak ada acara sekalipun, Jejak Kopi ramai sama pengunjung. Dari keramaian itu, ada satu dan dua orang yang tidak menyukai. Sebenarnya mereka bukan tidak suka sama personal, melainkan dengan kebisingan. Karena teman-teman memang berisik sampai dini hari. Makanya ada insiden kurang mengenakkan itu. Sampai teman-teman ada yang mau memukul oknum itu, saking kesalnya. Akan tetapi, saya dan Sule Subaweh menahan mereka,” imbuhnya.

Satu Dekade Jejak Imaji
Pada bulan November 2019, Kelompok Belajar Sastra Jejak Imaji pindah ke RT 2 Kepuh Kulon, Wirokerten, Banguntapan, Bantul. Jejak Imaji hanya setahun di sana, yaitu sampai pada November 2020. Masa itu adalah masa yang paling sulit dan pelik bagi Jejak Imaji, karena aktivitasnya mulai berkurang, seperti diskusi Senin sore dan agenda lainnya. Barang kali, hal ini tidak hanya terjadi di Jejak Imaji, banyak komunitas sastra di Yogyakarta yang vakum atau berhenti. Apabila mengadakan kegiatan, mesti dalam ruang virtual.


Setelah berakhir masa kontrakan, Jejak Imaji pindah ke RT 04 Kepuh Kulon, tidak jauh dari sekretariat ketiga. Sekretariat keempat ini menjadi sekretariat tetap dari Jejak Imaji. Sampai umur komunitas ini mencapai 10 tahun atau satu dekade, Jejak Imaji tetap eksis dan berdiri di antara gempuran dari persoalan yang ada. Pada akhirnya, komunitas ini akan merayakan umurnya dalam acara Perayaan Satu Dekade Jejak Imaji dengan tema β€œLanggeng” pada tanggal 20 β€’ 28 Juli 2024.


Lang.geng /langgΓͺng/ a memiliki arti β€œtidak ada habisnya; kekal; abadi”, setidaknya demikianlah harapan, keinginan, angan-angan yang ditujukan pada kelompok belajar sastra Jejak Imaji ini. Sebagai komunitas sastra, Jejak Imaji memulai perjalanan dengan kesadaran bahwa manusia hidup di antara kata-kata dan kata-kata (teks), merupakan manifestasi pemikiran manusia yang terus berkembang dan perlu untuk dipelajari dengan maksud menemukan makna tertentu di dalam kehidupan itu sendiri.


Perayaan 1 Dekade Jejak Imaji menandai perjalanan panjang Jejak Imaji sebagai komunitas sastra di Yogyakarta, dimulai dengan diskusi kecil-kecilan di sebuah kos-kosan bernama β€œLawang Abang” dan terus berkembang dan berganti nama menjadi β€œJejak Imaji”, sekaligus menandai bahwa aktivitas semacam ini perlu dan harus untuk terus dilakukan. Sepuluh tahun bukanlah usia yang dapat dikatakan panjang, namun sebagai komunitas sastra usia tersebut patut untuk disyukuri dan layak untuk dirayakan. Untuk itu spirit kata β€˜Langgeng’ diambil sebagai simbol ucapan rasa syukur dan doa panjang yang akan selalu diaminkan (semoga).


Perayaan 1 Dekade Jejak Imaji yang bertajuk β€˜Langgeng’ ini pula sekaligus kami persembahkan kepada salah satu sosok sastrawan Yogyakarta yang teramat penting bagi khazanah sastra Indonesia yaitu Joko Pinurbo atau Jokpin. Sebab Jokpin juga merupakan manifestasi dari kelanggengan tersebut, dengan karya-karyanya yang akan terus dan selalu dikenang. Sebagai seorang yang sosok dan karyanya begitu dekat dan lekat dengan masyarakat Indonesiaβ€”setidaknya bagi pembaca sastraβ€”tentu kita semua sangat merasa kehilangan. Tahun 2024 ini Jejak Imaji menandai satu fase perjalanan panjangnya, dan di sisi lain menandai berpulangnya Joko Pinurbo ke haribaan Tuhan.


Selain itu, dalam Perayaan Satu Dekade Jejak Imaji, ada pula kegiatan Launching Antologi Puisi Avontur, Launching Album Musik, Diskusi Sastra dan Komunitas, Orasi Budaya dan Celoteh, TAPSSU, Lapak Buku, Membaca Jokpin dari Berbagai Medum, Artist Talk, Meracik Parfum dan Mengolah Kata, Bentang Layar, Serasehan, serta Bincang Seni dan Closing Ceremony.

Penulis : Achmad Sudiyono Efendi


Bagikan

Leave a Reply