PM dan NA Kotagede Napak Tilas 100 Tahun Muhammadiyah Kotagede

Bagikan

Kotagede – Pemuda Muhammadiyah dan Nasyiatul Aisyiyah Kotagede telah menggelar acara walking tour bertajuk “100 Tahun Jalan Muhammadiyah Kotagede” pada Sabtu (12/10/2024). Gelaran ini ditujukan untuk memperingati pergerakan Muhammadiyah di bekas ibukota kerajaan Mataram Islam ini selama sekitar 100 tahun.

- Advertisement -

Walking tour “100 Tahun Jalan Muhammadiyah Kotagede” dipandu oleh dua penutur, yaitu Ahmad Yasin dan Zalfaa Nabila Az-Zahra. Sekitar 35 orang mendaftarkan diri untuk mengikuti acara walking tour tersebut. Walking tour dimulai dari kompleks Makam Raja-Raja Mataram pada pukul 15.30 WIB.

Ada 4 lokasi yang dikunjungi dalam walking tour kali ini. Terdiri dari rumah Kiai Amir, salah satu tokoh pendiri Muhammadiyah cabang Kotagede. Kemudian, terdapat Pendopo Ropingen di Kampung Pandeyan, Pendopo Sopingen di Kampung Pekaten, dan terakhir adalah Masjid Perak yang terletak di Jl. Mondorokan, Prenggan, Kotagede.

Artikel Lainnya
1 of 40
Peserta Mendengarkan Penjelasan Penutur di Pendopo Ropingen
Peserta Mendengarkan Penjelasan Penutur di Pendopo Ropingen

Masing-masing lokasi merupakan situs yang merepresentasikan perjalanan Muhammadiyah sejak satu abad lalu. Tempat-tempat ini juga menjadi saksi persinggungan Muhammadiyah dengan beberapa organisasi lain yang pernah aktif di Kotagede, terutama sejak awal abad ke-20 hingga periode 1960-an.

Pergerakan awal Muhammadiyah di Kotagede sejatinya ditandai oleh aktivisme beberapa tokoh yang sebelumnya tidak tergabung di organisasi asal Kampung Kauman tersebut. Sebaliknya, beberapa tokoh Islam di Kotagede, seperti Haji Masyhudi, justru telah mendirikan organisasi serupa bernama Syarekatul Mubtadi.

Baca Juga :   Kunjungan Silaturahmi PCM Kotagede dengan PRM Alun Alun Selatan

Tidak begitu jelas kapan Syarekatul Mubtadi mulai berdiri. Namun, organisasi ini dibentuk dan aktif dalam satu masa yang sama dengan Muhammadiyah pimpinan KH Ahmad Dahlan, yakni pada medio 1910-an. Hal ini seturut pula dengan penelitian Mitsuo Nakamura dalam bukunya yang berjudul Bulan Sabit Terbit di Atas Pohon Beringin (2021).

Syarekatul Mubtadi muncul sebagai wadah untuk memajukan pengetahuan dasar masyarakat mengenai agama Islam. Kiai Amir, ulama dan pedangang asal Kulonprogo, mulai aktif di organisasi itu setelah pindah ke Kotagede pada 1918 dan menikah dengan salah satu cucu Haji Mukmin, yang notabene masih kerabat Haji Masyhudi.

Hubungan kekerabatan ini kian membawa Kiai Amir pada aktivitas keorganisasian yang dipimpin Haji Masyhudi, hingga akhirnya Syarekatul Mubtadi melebur ke Muhammadiyah pada 1920-an. Konsentrasi Kiai Amir di bidang pendidikan akhirnya bertransformasi pada kemunculan sekolah-sekolah dasar Muhammadiyah dan pendirian MTs Mahad Islamy di Kotagede.

Atas peran Kiai Amir di Muhammadiyah cabang Kotagede, rumah Kiai Amir yang terletak di Kampung Selokraman menjadi salah satu objek dalam acara walking tour . Sementara itu, Pendopo Ropingen dan Pendopo Sopingen diketahui merupakan situs tempat digelarnya vergadering (pertemuan) di masa pergerakan nasional awal abad ke-20.

HOS Tjokroaminoto (Sarekat Islam), KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), Soewardi Soerjaningrat (Indische Partij/Taman Siswa), dan beberapa tokoh-tokoh komunis seperti Musso, Semaun, hingga Darsono, diketahui pernah mengadakan pertemuan di kedua pendopo itu. Bahkan, PKI pernah mengadakan kongres di Kotagede pada 1924 silam.

Muhammadiyah cabang Kotagede juga menjadikan tempat-tempat publik, seperti Pendopo Sopingen, sebagai lokasi bergulirnya kegiatan atau acara di masa pasca kemerdekaan. Kegiatan seni dan budaya merupakan aktivitas yang diadakan Muhammadiyah cabang Kotagede di tempat-tempat umum tersebut.

Baca Juga :   Aksi Jogja Memanggil, Tolak Revisi UU Pilkada hingga Seruan Bentuk Oposisi

Di sisi lain, Masjid Perak adalah situs historis yang menandai meningkatnya kegiatan Muhammadiyah di Kotagede. Masjid ini dibangun mulai 1937 dan diresmikan pada 1940. Bersama Masjid Besar Mataram, Masjid Perak merupakan salah satu dari dua masjid di Kotagede yang digunakan untuk tempat ibadah dan acara lain hingga 1970-an. (ays).


Bagikan

Leave a Reply