Berlalu dan Teringat
Bandung Mawardi
Hari-hari yang berlalu. Hari-hari yang tetap bernama, berulang datang dan pergi. Kita telah melewati Senin, 20 Mei 2024. Yang bernama Senin itu tidak terlalu membuat kita berpikiran macam-macam. Namun, tanggal itu lekas mengingatkan sejarah. Di pelbagai tempat, orang-orang mengadakan peringatan dengan pidato, lomba, atau memasang spanduk. Pemerintah menyebutnya Hari Kebangkitan Nasional, yang disahkan dengan pembuatan tema. Kita kadang tidak mengetahui tema yang dicantumkan di spanduk pinggir jalan. Senin terlalu sibuk atau ketiadaan perhatian mengenang sejarah.
โKacarios wonten satunggaling priyantun dhokter Jawi ing Jogjakarta, nama Raden Mas Sudirahusada, punika sanget pangudinipun amurih majengipun tiyang Jawi, dipun labeti ngedalaken serat kabar Jawi-Malayu nama Retna Dumilah,โ kalimat yang terbaca dalam novel berjudul Kirti Jungjung Drajat gubahan Jasawidagda. Novel berbahasa Jawa yang telah berumur 100 tahun jika menengok cetakan pertama: 1924.
Di buku pelajaran, kita mengenalinya Wahidin Sudirohusodo. Soso yang diakui berpengaruh dan menggerakkan benih-benih yang selanjutnya memunculkan Boedi Oetomo: 20 Mei 1908. Dokter asal Jogjakarta itu ingin memajukan Jawa, mengajak kaum bumiputra berpendidikan (modern). Ia pun menyatakan ide-ide agar dimufakati dan diwujudkan. Jasawidagda mengisahkan: โMalah panjenenganipun lajeng lelana mubeng Tanah Jawi manggih para bupati saha pangageng sanesipun, nggelaraken pamanggih: saupami para priyantun sasaminipun purun urunan sakedhik-sakedhikipun satangsul sawulan, amesthi klempaing arta kenging kangge ngragadi tiyang pinten-pinten, kasinaokaken dhateng nagari Walandi dhateng babagan kawruh tetanen, patukangan, kawruh pangadilan, pamelikan, dagang sapanunggalipun.โ
Ikhtiar mengumpulkan dana pendidikan, yang bisa digunakan bagi kaum muda melanjutkan studi ke Belanda. Di sana, mereka belajar tentang pertanian, hukum, teknik, ekonomi, dan lain-lain. Gagasan yang diharapkan memajukan Jawa, mengubah nasib bumiputra awal abad XX. Yang terjadi adalah pendirian Boedi Oetomo, yang diawali kaum muda di STOVIA. Selanjutnya, kongres diadakan di Jogjakarta. Perkumpulan itulah yang perlahan mengadakan sekolah dan pemajuan pendidikan di Jawa.
Jogjakarta menjadi sumber. Kita menemukan lagi dalam buku yang berusia 101 tahun. Buku itu berjudul Moeslimah (1923) yang ditulis oleh tokoh Muhammadiyah di Solo: Moechtar Boechari. Novel yang mengisahkan ide-ide kemajuan dan amalan-amalan yang berpijak agama. Pendidikan tentu menjadi tema penting dalam perwujudan kemuliaan dan perubahan nasib bumiputra.
Kita menyimak percakapan terjadi saat Jumat di Solo. Percakapan yang berkaitan Jogjakarta. Saudagar bernama Ibrahim menanyakan: โSudahkah kau dengar bahwa sekarang di Jogjakarta ada perserikatan yang dinamakan Muhammadiyah?โ Salim, pemuda yang berpendidikan modern, mengaku sudah tahu. Ia malah berani memberi penjelasan: โAdapun maksud perserikatan itu hendak menyapu awan-awan yang menutup wajah Al Quran dan menyuramkan sinar bintang Islam, lagi hendak meneguhkan keislaman bangsa kita.โ
Di Solo, mereka sudah mengetahui agenda-agenda kemajuan dan dakwah diselenggarakan di Jogjakarta, sejak 1912. Ibrahim menantang: โKalau di Solo ini didirikan orang cabang Muhammadiyah, sukalah kau dijadikan pendekarnya?โ Ia mengangguk, yang mengartikan memiliki kemauan menumbuhkan atau membesarkan Muhammadiyah di Solo. Salim yang sedang rajin belajar beragam ilmu meyakini agenda pendidikan yang dipentingkan Muhammadiyah memang bakal menimbulkan terang, menyingkirkan kegelapan dan kebodohan.
Dua buku yang berusia 100 dan 101 tahun, yang mengingatkan tokoh-tokoh dan Jogjakarta. Kita mengingat masa silam yang digerakkan ide dan perkumpulan atau perserikatan. Ada yang berubah dengan segala kesulitan, jebakan, dan capaian. Kita masih memerlukan sejarah untuk mengetahui pasang-surut beragam gerakan pendidikan, dakwah, sosial, dan kultural yang bertumbuh di pelbagai kota. Siasat kita mengingat kadang ditentukan kalender. Tanggal merah atau hari libur berkaitan peristiwa sejarah atau ketokohan dari masa lalu. Kita jarang mengingat dengan ketekunan atau iseng membaca buku-buku. Di situ, ada penggalan sejarah dan cuilan biografi tokoh, yang kita membacanya pelan-pelan saat dunia makin ramai dan cerewet di sandiwara media sosial.
Bandung Mawardi.
Lahir di Karanganyar, 18 Januari 1981.
Pedagang buku bekas, kolektor kamus, penulis buku, pengulas iklan, dan tukang kliping.