Bersepeda ke Kotagede: Masa Lalu dan Batu

Bagikan

Bandung Mawardi

- Advertisement -

Pada masa 1930-an, ide-ide “madjoe” bermunculan yang memberi godaan bagi kaum bumiputra berpijak akar-kultural yang lama atau berpihak “baroe” yang berkiblat Barat. Debat-debat kaum elite terpelajar, kaum pergerakan politik, dan kaum pendakwah mengakibatkan kebingungan sekaligus ketetapan. Indonesia masa 1930-an, Indonesia yang “bimbang” tapi tampak bergejolak dalam penentuan masa depan.

Yang bersuara keras adalah Sutan Takdir Alisjahbana (1935), menentukan garis batas: kuno dan baru. Kita mengingat yang disampaikan dari gejolak ide-ide masa 1930-an: “Djiwa jang melahirkan Borobudur jang loehoer itoe tidak ada sangkoet paoetnja dengan semangat jang bernjala-njala dalam dada para pengandjoer tjita-tjita keindonesiaan dalam abad kedoea poeloeh ini. Ada poela hoeboengannja gamelan dengan perasaan keindonesiaan.”

Artikel Lainnya
1 of 9

Pengarang muda itu memberi kritik ke segala arah. Ia menghendaki Indonesia itu “baroe”, bukan urusan-urusan kuno atau lama yang dianggapnya bakal memberatkan keinginan membentuk dan memuliakan Indonesia. Yang diharuskan terjadi adalah “pemodernan”, kemauan mewujudkan hal-hal baru yang “bersemangat” berbeda dari adat-adat (lama).

Orang-orang tampil berbekal tumpukan argumentasi mendebat Sutan Takdir Alisjahbana. Mereka mengajukan istimewa dan keunggulan Jawa, Bugis, Minangkabau, Batak, Sunda, dan lain-lain. Semua yang berakar, hal-hal yang lama, dan kekhasan berupa keberagaman dijelaskan justru membentuk Indonesia secara tegak.

Debat dari masa 1930-an itu berlanjut pada masa 1950-an. Indonesia dalam guncang demokrasi, yang terombang-ambing dalam melanjutkan warisan-warisan leluhur atau turut dalam persaingan sengit tatanan dunia baru. Konsekuensi yang dihadapi adalah sengketa ideologi dan pasang-surut dalam amalan peradaban, yang sejak ratusan tahun lalu mendapat pengaruh dari pelbagai arah. Indonesia yang tetap dibingungkan dalam pijakan kebudayaan: lama dan baru.

Baca Juga :   Solusi Holistik dan Kreatif Jogja Hadapi Krisis Sampah

Pada masa 1950-an M Mardjana memberi cerita-cerita memikat dalam buku berjudul Jogjakarta Kota Pusaka, buku yang diterbitkan Noordhoff-Kolff untuk dibaca kaum remaja di seantero Indonesia. Ia menjelaskan: “Djaman baru, djaman demokrasi, djaman kemadjuan, djaman perubahan jang serba tjepat, ialah djaman sekarang ini. Apa jang bersifat kuno harus menderita perubahan. Bukannja bangunan-bangunan atau barang buatan manusia dan pemerintahan sadja jang harus menanggung perubahan, bahkan tingkah laku dan adat istiadat orangpun berubah djuga.” Penerbitan buku yang mengingatkan para pembacanya menyadari geliat zaman, yang memuat kisruh memahami dan menerapkan peradaban. Geliat menghasilkan capaian dan kehilangan, yang membuat orang-orang bergairah atau lungkrah dalam hidupnya. Yang diceritakan Mardjana adalah pergaulan dua murid bernama Sutaja dan Harsana. Dua remaja yang belajar ilmu-ilmu di sekolah dan memiliki kemauan mengenali Jogjakarta. Mereka dalam senang dan penasaran berkeliling untuk merasakan segala hal di Jogjakarta. Naik sepeda yang menimbulkan lelah tapi memberi berlimpah pengalaman dan pemaknaan.

Pada suatu Minggu, Sutaja dan Harsana menentukan alur menikmati liburan dan mengartikan Jogjakarta. Mereka menuju Ambar Rukma. Mardjana mengisahkan: “Ambar Rukma itu bukan taman, melainkan istana, sebab itu disebur orang ‘kedaton’ Ambar Rukma. Dari Tugu, mereka itu menurutkan djalan jang ke Solo sampai kira-kira 2 km djauhnja. Ditepi djalan disebelah utara tampaklah pendopo dengan megahnja. Tiang-tiang tengahnja diberi perhiasan berukir-ukir dan ditjat emas. Segala kaju-kajunja jang diatas demikian pula perhiasannja. Atap rumah itu kaju. Dimuka dan kanan-kiri pendopo ada halaman agak luas ditanami pohon sawo Djawa.” Di situ, dua remaja mendapat izin untuk melihat dan mengamati segala keindahan, yang terwariskan sejak dulu. Mereka pun akhirnya mengetahui: Ambar Rukma dahulu adalah tempat istirahat Sri Sultan Hamengku Buwono VII.

Baca Juga :   Mutiara Nusantara Yang Terlupakan

Minggu belum berlalu, Sutaja dan Harsana melanjutkan perjalanan ke Kota Gede. Pengalaman yang diperoleh memberi kesan-kesan mendalam, menjadikan mereka mengerti sejarah dan memandang masa depan yang memungkinkan perubahan-perubahan. Mata mereka melihat hal-hal yang memukau.
Kita mengandaikan ikut melihat seperti ditulis Mardjana: “Dibekas alun-alun ada pohon beringin jang sudah tua. Kata orang itu pohon beringin pada djaman keradjaan Panembahan Senapati, djadi umurnja sekarang sudah 350 tahun. Dibawah pohon beringin itu ada batu tempat kedudukan Sang Panembahan. Mungkin itu tachta tempat meletakkan dampar (bangku kedudulan radja) seperti jang terdapat djuga dibangsal Manguntur di Sitinggil. Orang menjebut batu itu Selagilang (batu rata). Dekat Selagilang, ada tiga buah batu jang bulat bangunnja seperti bola. Jang besar, sebesar buah njiur jang belum dibuang sabutnja atau lebih besar sedikit. Orang jang masih pertjaja kepada tachajul, batu itu mendjadi tanda, kabulkah atau tiadakan harapannja.”

Sejarah itu “meninggalkan” benda-benda, yang memicu beragam tasfir. Kemunculan tafsir kadang selaras dengan situasi zaman atau bertentangan dengan tata kehidupan baru (modern).
Di depan batu dan (ingatan) sejarah, dua remaja menentukan sikap untuk menerima atau menolak takhayul. Mereka itu kaum terdidik tapi sadar tingkat kepercayaan masyarakat tradisional yang masih kuat. Dua murid dan tempat yang bersejarah mengabarkan usaha menafsir masa lalu dan kemungkinan-kemungkinan menggerakan nili-nilai baru dalam lakon kehidupan abad XX.

Bandung Mawardi.

Lahir di Karanganyar, 18 Januari 1981.

Pedagang buku bekas, kolektor kamus, penulis buku, pengulas iklan, dan tukang kliping.


Bagikan

Leave a Reply