Ketokohan: Kemerduan dan Dolanan
Yang sudah tua-tua mungkin mengingat namanya dan warisan-warisan untuk Jogjakarta. Kita ingin mengenali dan mengenang dengan membuka buku Tembang Macapat susunan Pak Katno, terbitan, Prapancha, Jogjakarta, 1952. Tembang yang mengesahkan Jogjakarta sebagai pusat pendidikan dan ruang bertumbuh kaum pelajar, dari masa ke masa: Para muda wadjibipun/ sinau matja lan nulis/ srana ngudi kapinteran/ etung babad ngelmu bumi/ basa Djawa-Indonesia/ minangka pangolah pikir. Tembang kinanti yang tidak hanya mementingkan kemerdeuan tapi menebarkan pesan-pesan bertema pendidikan dan pengajaran.
Pak Katno rajin mengajarkan macapat dan menggubah tembang mengikuti jejak Ki Hadjar Dewantara, yang dulu mewariskan buku berpengaruh sejak masa kolonial berjudul Sari Swara. Jogjakarta itu tembang. Jogjakarta itu kelembutan peradaban. Selanjutnya, Pak Katno bernasihat: Tuntunanira pak guru/ amrih betjiking pakarti/ wruh lenggahing tata krama/ rasa mardika ingudi/ tresna nusa lawan bangsa/ sumungkem anggering nagri. Pada masa 1950-an, tembang itu membuat orang-orang menyadari pentingnya melestarikan peradaban Jawa dan memajukan Indonesia, yang beberapa tahun sebelumnya merdeka.
Pada 2015, nama Pak Katno atau Ki Hadisukatno (26 Mei 1915-10 November 1983) yang moncer dan berpengaruh sebagai guru di Taman Siswa kembali dikenang bersama dalam peringatan 100 tahun. Tokoh yang pantas dicatat dalam lakon perkembangan Jawa dan pendidikan di Jogjakarta. Ia memang guru tapi memiliki peran besar di luar sekolah dengan melestarikan dolanan bocah dan tembang-tembang yang terus terdengar. Usaha melanjutkan peran-peran dari masa lalu itu diwujudkan buku berjudul Mendidik dengan Budaya (2015).
Ki Hadisukatno (1956) pernah mengungkapkan: “… anak itu gemar sekali akan permainan. Dalam permainan itulah banjak terkandung unsur-unsur kesenian karena kesenian itu tak lain hanja terlahirnja rasa indah dari sanubari manusia. Dan rasa indah ini tentu dimiliki oleh tiap-tiap manusia mulai sejak lahirnja.” Penjelasan itu bakal sulit sepenuhnya dimengerti saat kita melihat anak-anak dalam lakon kehidupan abad XXI mulai enggan dalam permainan bersama, yang menghadirkan raga, tembang, alat, dan pilihan tempat. Konon, kodrat bermain dan seni itu berganti dengan benda di tangan yang merayakan digital dan pikat teknologi.
Kita masih bisa mengangguk saat pemerintah atau pelbagai komunitas di Jogjakarta mengusahakan hajatan-hajatan yang menghadirkan anak-anak dalam dolanan atau permainan tradisional. Guru-guru dan orangtua pun mendapat bujukan menghidupkan atau melestarikan beragam permainan silam. Ikhtiar-ikhtiar itu berkaitan pendidikan, seni, etika, alam, dan lain-lain.
Indra Tranggono (2015), pemikir dan penulis kolom-kolom kebudayaan memberi pujian atas pengabdian dan warisan Pak Katno: “Dolanan anak dan langen carita ala Pak Katno mampu menjadi media estetika dan kultural untuk mengembangkan mental, jiwa dan solidaritas anak. Jadi, anak-anak memiliki ruang keterbukaan untuk mengasah kepekaan batinnya, kepekaan emosionalnya, dan kepekaan sosialnya. Yang muncul adalah kejujuran, tanggung jawab, sikap ksatria, toleransi, dan empati sosial.” Kita melihat lagi Jogjakarta abad XXI. Kita mudah dikecewakan dengan pasang-surut pendidikan dan anak-anak yang tidak lagi merujuk Jawa saat bertumbuh dalam zaman manja teknologis. Jogjakarta tetap memikat bagi yang menelisik pendidikan sekaligus citarasa Jawa. Pada abad XX, tak ada lagi Pak Katno atau alur yang terus diselenggarakan agar anak-anak berhak gembira dan mendapat beragam pengajaran saat hadir dalam permainan atau dolanan.
Bandung Mawardi.
Lahir di Karanganyar, 18 Januari 1981.
Pedagang buku bekas, kolektor kamus, penulis buku, pengulas iklan, dan tukang kliping.