Kegiatan Jaringan Kota Pusaka di Yogyakarta diselenggarakan Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta

Bagikan

oleh Erwito Wibowo

- Advertisement -

Landasan Awal
Dulu, pada 4-8 Agustus 2001 sesungguhnya telah dirintis event agenda berupa “Pekan Pelestarian Pusaka Budaya Yogyakarta” Event acara tersebut dimaksudkan untuk mengusik kepedulian masyarakat kota Yogyakarta terhadap pusaka budaya Yogyakarta yang dikhawatirkan dari tahun ke tahun semakin terlupakan bahkan lenyap .

Adapun yang disebut pusaka adalah peninggalan masa lalu yang bernilai sejarah, pemikiran, kualitas rencana dan pembuatannya, perannya yang sangat penting bagi berkelanjutan hidup manusia. Ada pula yang mewakili gaya arsitektur yang khas pada suatu masa.

Artikel Lainnya
1 of 3

Event Pekan Pelestarian Pusaka Budaya Yogyakarta di tahun 2001 merupakan tonggak perintisan pusaka budaya di kota Yogyakarta pada 29 September 2000. Semula, dimulai dari gagasan bertemunya aktifis Forum Pelestarian Lingkungan Budaya Yogyakarta, menginisiasi menyelenggarakan serial lokakarya.

Yayasan Pusdok, Pusat Studi, Dokumentasi dan Pengembangan Budaya Kotagede ikut terlibat, dan tentu saja hadir keberadaan bpk Achmad Charris Zubair, mas Ahmad Noor Arif, sdr Priyo Jatmiko, sdr Erwito Wibowo, Joko Nugroho dan bapak Priyo Mustika sebagai partnernya Yayasan Pusdok.

Di Forum Pelestarian Lingkungan Budaya Yogyakarta, Yayasan Pusdok ikut aktif dalam penyelenggaraan Lokakarya Pelestarian Pusaka Budaya pada bulan Maret-Juli 2001. Serta Pekan Pelestarian Alam dan Budaya (Heritage Week 2001) di bulan Agustus 2001 dengan menyelenggarakan Pameran dan Bazar di Pagelaran kraton Yogyakarta.

Pada event pameran Yayasan Pusdok mengeluarkan 5 bingkai poster tentang bangunan pusaka bersejarah di Kotagede, desain grafis dikerjakan oleh Ahmad Noor Arif teks narasi oleh Erwito Wibowo.
Kemudian Yayasan Pusdok ikut aktif di event Tahun Pelestarian Pusaka (Heritage Year 2002) di tahun 2002.

Setelah itu, Forum Pelestarian Pusaka Budaya Yogyakarta melarutkan diri menjadi aktivis Pusaka Budaya Indonesia dan seterusnya menjelma menjadi aktifis Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia.

Tonggak Pelestarian Pusaka
Puncaknya menyelenggarakan Tonggak Tahun Pusaka Indonesia 2003 di Ciloto 13 Desember 2003, sekaligus mengeluarkan Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia. Event agenda tersebut diselenggarakan oleh Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia.

Kemudian, aktifis Forum Pelestarian Lingkungan Budaya yang menjelma menjadi aktifis Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia di struktur Jakarta memutuskan berhimpun dalam kerangka satu wadah, berdirilah Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) pada tanggal 17 Agustus 2004, merupakan amanat dari Deklarasi Dasa Warsa Pusaka Indonesia 2004-2013 sebagai Tonggak Tahun Pusaka Indonesia 2003 yang diselenggarakan oleh Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia bekerjasama dengan ICOMOS Indonesia dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Namun, 27 Mei 2006 gempa bumi melanda wilayah Yogyakarta, Kotagede diguncang gempa hebat. Banyak bangunan pusaka runtuh. Banyak pihak datang mengulurkan tangan menyelamatkan pusaka Kotagede. Muncul program “Revitalisasi Kawasan Pusaka Kotagede” yang diadakan oleh Tim Revitalisasi Kawasan Pusaka Kotagede, jurusan arsitektur perencanaan dan jurusan sipil, Fakultas Teknik Universitas Gajahmada bersama Japan International Coorporation Agency (JICA).

Salah satu agenda awal berupa penguatan organisasi Pengelola Kawasan Pusaka Kotagede dan Deklarasi Organisasi Pengelola Kawasan Pusaka Kotagede, Kamis 17 Agustus 2006 di bangsal Ndondhongan di bawah meranggasnya ringin sepuh kompleks makam raja-raja Mataram di Kotagede. Pembaca naskah deklarasi dilakukan oleh Natsir Dabey. Naskah ditulis oleh Erwito Wibowo.

Baca Juga :   Perlunya Tirai Kebudayaan di Kotagede

Tanggal 6 Juni 2008 World Heritage Fund, menyatakan bahwa Kotagede Heritage Distric sebagai situs dunia dalam bahaya ( World Endangered Site) merupakan salah satu kawasan pusaka yang paling terancam kehancurannya di antara 100 warisan pusaka dunia lainnya. Dampak munculnya warning itu, banyak funding internasional datang ke Kotagede. Dimulai dari Kementerian Kebudayaan Belanda membantu merestorasi 4 buah pendopo di Kotagede, yakni :

(1) Pendopo atap kampung milik Padmosarjono di kampung Pekaten utara pasar Kotagede.

(2) Pendopo berupa lambang gantung milik Embong Prasetyo di kampung Citran.

(3) Pendopo milik Martopomo di kampung Kudusan

(4) Joglo rumah Mukadi di kampung Cokroyudan.

(5) Babon Aniem
Total Indonesian, sebuah NGO Perancis, mengembalikan landmark Babon Aniem yang runtuh kena gempa 2006 di pojok pasar Kotagede

(5) Monumen Jumenengan Sultan HB IX
Di pojok pasar Kotagede runtuh kena gempa, dipugar kembali oleh Kimpraswil kota Yogyakarta

Kiprah BPPI Bersama Masyarakat Kotagede

BPPI (Badan Pelestarian Pusaka Indonesia) sebagai induk semang Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia. BPPI berkantor di jalan Veteran III Jakarta Pusat.
Sesungguhnya, jauh di tahun 1998, orang-orang aktifis dari Jogja dan Jakarta, sebelum mereka suntuk di Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia, mereka telah datang ke Kotagede bermitra kegiatan bersama Yayasan Pusdok.
Di saat masyarakat luas lainnya sedang asyik terpesona mengikuti arus utama gegap gempita euforia politik munculnya banyak deklarasi lahirnya partai politik baru setelah runtuhnya Orde Baru, untuk berlaga di pemilu multi partai di tahun 1999. Namun, di Kotagede muncul sebagian masyarakat justru berkegiatan pada investasi nilai budaya, berupa melakukan rintisan kegiatan pusaka budaya di Kotagede.

Tonggak Festival di Kotagede

Rintisan pertama, membuka seluas mungkin keinginan dengan diskusi beberapa kali di pendopo rumah bpk Ahmad Charis Zubair. Beberapa orang yang datang ke pendopo Boharen di antaranya seperti : Sita Laretna Adishakti, Parmono Atmadi, Suhadi Hadiwinoto (BPPI), Rururien Pikarini, dkk. Dari beberapa kali diskusi melihat potensi budaya yang ada di Kotagede, akhirnya nersimpulan bahwa ini mesti ditandai kehadiran potensi budaya tersebut.

Maka perlu diwadahi dalam bentuk Festival Seni Kampung pada tahun 1998 di kampung Dolahan Kotagede, yang dihadiri para tokoh Jakarta serta perwakilan Bank Dunia untuk kawasan Asia dengan melakukan Rembling Thru Kotagede selama 7, 5 jam. Serta memberikan stimulasi bantuan kepada pedagang makanan kecil untuk berjualan di sekitar panggung Festival Seni Kampung.

Situasi yang dipolakan Itu sesungguhnya merupakan rintisan awal setiap kali muncul event tontonan pertunjukan selalu diikuti UMKM pedagang yang menyertai berlangsungnya seni pertunjukan. Pola seperti itu mengambil sumber dari pola tradisi di setiap munculnya tanggapan wayang kulit dan kethoprak selalu hadir pedagang tradisional berada memasuki arena pertunjukan wayang kulit dan kethoprak digelar. Pedagang kacang, ubi jalar dan ketela rebus, grubi, ampyang, peyek dele ireng, pedagang menggunakan tenggok dan tambur menggelar pecel tempe bombrong, bakmi kacang bumbon, bakmi tokolan, pedagang yang menggunakan angkring ada wedang ronde, saoto, bakso, minuman gempol dan cao, glali, tebu irisan, yang paling meriah penjual sate jambal, bumbu dan gajih yang terbakar aromanya menyentuh simpingan wayang kulit, nyaris profil tokoh wayang Durmogati bangun dari kesadarannya.

Semula Festival Seni Kampung akan digilirkan di setiap kampung di Kotagede. Setelah dievaluasi, tentu akan membutuhkan waktu yang panjang setiap kampung menunggu giliran. Akhirnya diputuskan dengan melakukan pendekatan bahwa setiap kampung diminta untuk menarik panggung-panggung pentas seni di bulan Agustus di luar ruangan kampungnya yang sempit.

Baca Juga :   LSB PCM Kotagede Dakwah Lewat Seni Karawitan

Pola pentas seni memperingati hari Kemerdekaan yang semula diselenggarakan di dalam kampung, ditonton masyarakat kampung, polanya dirubah, ditarik di tepi jalan besar Kotagede agar lebih luas masyarakat yang menyaksikan peristiwa budaya tersebut.

Tahun 1999, dimulai event tersebut berganti nama menjadi Festival Kotagede 1999 dengan modal dua panggung di pojok pasar Kotagede.

Tahun 2000 bertambah menjadi 6 panggung. Tahun 2001 menjadi 9 panggung di sepanjang jalan protokol Kotagede. Tahun 2002 menjadi 11 panggung. Puncaknya di tahun 2003 menjadi 19 panggung. Mulai dari Tegalgendu sampai di depan masjid Al Fatah di Rejowinangun. Ke timur sampai kampung Bumen. Ke selatan sampai kampung Alun-Alun Kotagede.

Pada agenda Temu Pusaka Indonesia 2010, saya dan Natsir Dabey diundang mengikuti Temu Pusaka Indonesia 2010 di Jakarta dan Bandung selama 22-26 September 2010 yang mengambil tema “Pelestarian Untuk Kejayaan Bangsa”

Salah satu sidang yang saya ikuti di Temu Pusaka Indonesia di auditorium hotel Bumi Sangkuriang, Bandung adalah mengikuti sidang perubahan AD/ART BPPI. Salah satu pasal yang dirubah semula keanggotaan BPPI adalah berupa Yayasan/Lembaga/Badan Budaya dirubah keanggotaan selain mewakili Yayasan Lembaga/ Badan/ diperkenankan juga bersifat perorangan aktifis pusaka budaya.

Temu Pusaka 2010 di Bandung ini juga mencanangkan bahwa untuk mengawal Pelestarian Kawasan Pusaka Indonesia perlu menghidupkan aktifis di setiap kota, melalui program membangun jejaring kerjasama dalam bentuk lembaga Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) dan merupakan salah satu oleh-oleh Temu Pusaka 2010 Jakarta-Bandung, adalah 10 Prinsip Program Pelestarian Kawasan Pusaka. Hanya kisi-kisinya saja tanpa saya sertakan penjabaranya, yakni :

1.Menyeluruh
2.Kemandirian
3.berkelanjutan
4.Mengakar
5.Berorientasi Pada Kegiatan Aksi
6.Inovatif Mengolah Aset
7.Bertumpu Pada Ekonomi Lingkungan
8.Mengelola Perubahan
9.Mementingkan Kualitas
10.Kemitraan Publik dan Privat.

Kemudian, masih di tahun 2010, BPPI menggandeng Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional serta beberapa pihak, agar gagasan tentang Pusaka Indonesia dititipkan melalui dunia pendidikan. Terbitlah buku Pendidikan Pusaka Indonesia untuk anak-anak sekolah. Buku tersebut semacam pengantar bagi program kurikulum muatan pendidikan pusaka Indonesia. Berisi Bab Pelestarian Pusaka. Bab Kerangka Pelaksanaan Pendidikan Pusaka. Bab Materi Pendidikan Pusaka dan Bab Contoh-Contoh Pembelajaran.

Seterusnya, Tim Pendidikan Pusaka bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum yang kebetulan JRF REKOMPAK masuk Kotagede tahun 2008-2010 ikut mendukung pembuatan 5 komik Seri Pendidikan Pusaka Untuk Anak
di Daerah Istimewa Yogyakarta. 5 komik tersebut dikerjakan oleh Mustofa W Hasyim, Priyo Jatmiko, Erwito Wibowo dan Revianto Budi Santoso.

Baru di tahun 2018 kota Yogyakarta dinyatakan secara resmi oleh pemerintah sebagai Kota Pusaka Indonesia dilakukan di hotel Jambuluwuk jln Dr Soetomo Yogyakarta.
Karena secara resmi dinyatakan sebagai Kota Pusaka Indonesia, sebagai konsekuensi segera dilakukan sosialisasi ke pelaku usaha yang bersentuhan dengan pusaka. Sosialisasi dilakukan kepada : PHRI, ASITA, HPI, dll. Pak Charis ketoke diberi tugas melakukan sosialisasi itu.

Tahun 2025 baru diselenggarakan event Jaringan Kota Pusaka Indonesia di Yogyakarta. 25 tahun perjalanan sebuah gagasan. 25 tahun yang lalu, Laretna T Adishakti tokoh pelestarian pusaka pernah bilang bahwa aktifis pelestarian pusaka tidak cukup bekerja periode 5 tahun sampai 10 tahun, tapi satu periode sampai 50 tahun.

“Pelestarian Untuk Kejayaan Bangsa” Kotagede, 1 Agustus 2025


Bagikan

Leave a Reply