PGT, Drumband, Marching Band, Kesenian Yang Berakar Kuat di Kotagede

Bagikan

Pendahuluan

- Advertisement -

Marching Band termasuk jenis seni musik ansambel, dalam memainkan instrumen musik dipadukan dengan baris-berbaris. Akar masa lalunya di kotagede dimulai dari PGT (Pasukan Genderang Trompet). Genderang merupakan alat musik pukul berbentuk selinder yang tutup atas dan bawahnya terbuat dari kulit kambing yang ditipiskan. Bentuknya ada yang besar dan kecil. Tambur bentuknya lebih pipih, pada tutup bawahnya terdapat senar untuk menghasilkan suara yang bergetar. Tam-tam bentuknya agak panjang, tutup bawahnya tidak mengenakan senar.
Karena menggunakan kulit kambing sering mengalami kelembaban dan harus dijemur, agar menghasilkan suara lantang. Sedangkan Jedor, diameternya hampir 60 cm, pada permainan marching band, biasa disebut Bass Drum. Instrumen alat berikutnya trompet yang memiliki karakter suara lengkingan tinggi, bertugas untuk memainkan melodi serta mengatur dinamika pada lagu, maka karakter trompet cocok untuk mengatasi suasana suara riuhnya tambur, tam-tam dan jedor.

Pasukan Genderang Trompet dipimpin oleh seorang mayoret, membawa tongkat yang atasnya lancip dan bawahnya menggelembung tempat butiran logam bergemerincing yang dipergunakan mayoret dalam memberikan aba-aba, masa transisi pergantian lagu atau aba-aba segera bergerak melakukan move on atau aba-aba lainnya.

Artikel Lainnya
1 of 11

Tambor dan Trompet Untuk Mengawal Pasukan Infanteri Belanda

Pada mulanya, musik tambur dan trompet ini dipergunakan oleh pasukan infanteri Belanda, sehingga muncul istilah bagi pembawa instrumen alat tersebut disebut ‘tamboer meester dan trompet meester”
Pemerintahan pendudukan Hindia- Belanda di Indonesia mengadopsi The Ottoman Militery Band yang sudah ada sejak abad 11 di Eropa pada era baroque, dipergunakan Belanda di Indonesia untuk penyemangat perang.

Ketika PGT, Pasukan Genderang Trompet dirintis persyarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta banyak orang yang menentangnya, dengan menggunakan memory kolektif sosial budaya kemasyarakatan di masa lalu, yang mereka ingat bahwa PGT itu peniruan dari tamboer meester dan trompet meester yang dipergunakan pasukan infanteri Belanda. Sehingga termasuk menggunakan alat-alat yang dipergunakan Belanda termasuk dikafirkan.

Namun, Muhammadiyah jalan terus menggunakan PGT untuk mengawal event-event peristiwa budaya yang diadakan Muhammadiyah, termasuk Pasukan Genderang Trompet dirintis dan tumbuh di Kotagede.

Baca Juga :   Pentingnya Pelatihan Penulisan Karya Sastra Bagi Generasi Muda Kotagede

Pasukan Genderang Trompet yang dimainkan Pemuda Muhammadiyah Kotagede, menggunakan tempat latihan di jalan timur pasar Kotagede atau di halaman masjid gede Mataram Kotagede. Mayoret dipegang oleh Wardani Abdullah Umar pemuda Sayangan, Jedor ada dua dimainkan oleh Djamhari pemuda Patalan dan Sugiyanto pemuda Pandean. Giek Sugiarto dan Syamsuddin pemuda Sayangan memainkan tam-tam. Trompet dipegang oleh Abdul Wahab dan Kartono. Kemudian periode jaman berganti, maroyet dipegang Sudarminto pemuda Alun-Alun.
Setiap periode jaman berjalan, perubahan dan pergantian terjadi. PGT diganti menjadi Pasukan Drumband, pada periode ini tulang punggung pasukan drumband pemuda Muhammadiyah Kotagede banyak diisi oleh pemuda Basen. Mayoretnya dipegang oleh Eko. Pemegang tam-tam ada Budi Mulyana, Karnan, Wilopo, dan lain sebagainya. Drumband Pemuda Muhammadiyah Kotagede mengawal pawai Idul Fitri dan Idul Adha menuju tempat shalat di lapangan Giwangan Yogyakarta. Tamburnya sudah menggunakan mika, bukan lagi kulit kambing. Latihan masih di jalan timur pasar Kotagede yang masih sepi dari dampak luberan pedagang pasar Kotagede.

Periode Marching Band

Pasukan Drumband tergantikan di tahun 2000 an, menjadi Marching Band, ini terjadi di tahun 2000-an ke atas. Marching Band menambah alat disamping mengganti istilah lama menjadi baru menyesuaikan perkembangan jaman.
Pada Marching Band muncul instrumen alat musik disebut Snare Drum (dulu disebut tambur yang di bawahnya terdapat larik-larik senar), Bass Drum (dulu disebut jedor), Quint Tom merupakan instrumen alat bersusun empat sampai lima, pukulan dobel alat musik inilah yang menjadikan Marching Band nampak rancak, dinamis, meriah, dan cetar. Ditambah dengan Hand Cymbal , menjadi lebih komplit hingar bingarnya. Untuk mendukung itu semua masih ada alat pendukung non bunyi yaitu berupa gerakan permainan Colour Guard (pasukan pembawa bendera warna-warni) menjadi bertambah meriah dan sensasional.

Perintis Marching Band di Kotagede muncul untuk mendukung event pawai takbiran di Kotagede pada malam menjelang Hari Raya Idul Fitri, kira-kira di awal tahun 2000-an. Dirintis oleh Novianto Setiawan pemuda Patalan mewakili dari tarawehan Masjid Nur Hasani di Patalan. Kemudian, satunya Cahya pemuda Basen mewakili tarawehan Masjid Darussalam, Basen. Disamping mereka merintis performa tampilan Marching Band, juga merintis wadrop (kostum) dikenakan peserta pawai yang penuh gaya dan mutakhir. Rintisan tersebut, menjadi inspirasi bagi peserta lainnya untuk menggarap performa tampilan karakter yang sama. Jadilah menjadi kesepakatan bersama model gaya karakter tampilannya.

Baca Juga :   Cerita di Desa

Ditambah setiap peserta menggarap replika sesuai tema yang diangkat di tahun ini. Replika bagian dari elemen pawai. Replika besar dan tinggi menjadi informasi penting agar terlihat penonton di kejauhan untuk mengatasi semrawutnya jalan raya yang dipergunakan sebagai rute pawai. Replika menjadi kontak mata pertama para penonton di tepian jalan, sehingga dengan mudah mampu diapresiasi dengan melihat tema yang direpresentasikan dalam bentuk replika. Replika yang sesuai tema akan mudah diapresiasi penonton. Replika yang tidak sesuai tema, akan membingungkan di ruang pemahaman penonton. Konsep rancangan penampil dalam menerjemahkan tema, baik berupa replika, lampion, wadrop, properti, asesoris, koreografi, penataan iringan musik, akan diuji oleh penonton yang kritis, yang selalu mempertanyakan kesesuaian tema, disamping sebagai hiburan serta branded event pawai tahunan di Kotagede melalui proses yang orisinil.
Coba bayangkan, di Jember yang tidak memiliki basis budaya yang berkarakter kuat, sampai mereka menemukan event peristiwa budaya “Jember Batik Carnaval” yang terinspirasi event di Rio de Janiro. Jember tidak berangkat dari titik orisinalitas, mengambil titik semangat milik bangsa lain, kemudian dibatikkan. Itu saja.

Di Kotagede, branding-nya cukup kuat, berbasiskan kegembiraan perayaan keagamaan, sesuatu seni budaya berupa pawai jalanan menggunakan alat musik yang berakar kuat karena dirintis dinamika jaman, tentu merupakan kerja membangun ekosistem. Proses perjalanan perubahan dari PGT- Drumband – Marching Band, itulah yang disebut meletakkan dasar ekosistem. Tanpa membangun dan meletakkan dasar ekosistem, sulit membentuk lahirnya sebuah seni budaya yang berkarakter unik, berkelas, mampu menembus jaman, menembus berbagai usia generasi. Dulu ikut berpawai atau menjadi panitia, setelah keluar dari Kotagede memperoleh kemapanan kerja, memiliki keluarga, anak, menantu dan cucu. Setahun sekali pulang ke Kotagede membawa seluruh jaringan keluarga hanya melihat masa lalu yang selalu baru melalui Pawai Takbiran.

Penutup

Adapun yang disebut ekosistem adalah sebuah kemudahan dilakukan dan yang melakukan jika diperlukan sewaktu-waktu dalam bentuk festival atau lomba, gampang disediakan dan disiapkan. Berbeda dengan cabang seni budaya yang tidak disiapkan dengan menggunakan ekosistem. Akan mengalami tingkat kesulitan diikuti oleh peserta. Karena perlu digerakkan, perlu dicoba dulu. Perlu dilihat seberapa jauh diminati banyak khalayak ramai.

(Erwito Wibowo)


Bagikan

Leave a Reply