Memata-matai Kaum Pergerakan: Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916-1934

Bagikan

Judul buku : Memata-matai Kaum Pergerakan: Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916-1934
Penulis buku: Allan Akbar
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun Terbit : Maret, 2013

- Advertisement -

Ada ruang yang coba dilengkapi buku Memata-matai Kaum Pergerakan perihal respon pemerintah Hindia Belanda terhadap kebangkitan nasional di awal abad 20. Respon ini tercermin dari keputusan untuk membentuk suatu badan intelijen guna meredam laju gerakan radikal.

Pemerintah punya kecenderungan memperkuat keamanan kawasan Hindia Belanda seiring kehidupan politik di tanah jajahan ini menghangat. Organisasi atau kelompok yang vokal terhadap kondisi masyarakat Hindia Belanda bermunculan. Mereka punya ideologi beragam, tetapi terdapat semangat yang sama dalam urusan meningkatkan kualitas hidup rakyat Hindia Belanda.

Artikel Lainnya
1 of 10

Aktivitas organisasi-organisasi ini cukup intensif saat Perang Dunia (PD) I meletus seiring memburuknya kesejahteraan penduduk lokal. Pemogokan buruh terjadi di mana-mana, menuntut upah layak dan jam kerja ideal. Peristiwa tersebut terjadi ketika serikat-serikat buruh mengerek posisi tawarnya di hadapan pengusaha dan punya hubungan dengan organisasi atau partai politik tertentu.

Pada level global, agresi Jepang di Cina dan Rusia menggentarkan pejabat kolonial, sementara komunikasi pemerintah Hindia Belanda dengan kerajaan Belanda terhambat oleh Perang Dunia I. Kekhawatiran akan adanya aksi subversif dan serangan negara lain menyebabkan pemerintah kolonial meningkatkan keamanannya dengan mendirikan Politieke Inlichtingen Dienst (PID) pada 6 Mei 1916. Jawa dan Sumatra merupakan wilayah yang dikonsentrasikan untuk agen-agen PID karena punya kegiatan politik radikal.

Dinas intelijen ini dipimpin oleh mantan kapten staf umum KNIL bernama W. Muurling, dengan berada di bawah kuasa Jaksa Agung yang bekerja sama dengan Gubernur Jenderal. Sepak terjang PID tidak banyak dipaparkan oleh Allan Akbar, penulis buku ini, selain informasi tentang struktur dan fakta bahwa PID membuat laporan berkala untuk kepentingan pejabat Binnenlandsch Bestuur di Den Haag dan Batavia. Sedikitnya info tentang PID di buku ini menunjukkan minimnya data dan sumber sejarah mengenai dinas tersebut.

Laporan tentang aktivitas intelijen pemerintah justru terentang lebih panjang pada pembahasan setelah PID. Ketika Perang Dunia I berakhir, Muurling merekomendasikan pembubaran PID saat situasi kemanan dan komunikasi dengan Belanda dipandang membaik. Namun, pembubaran PID pada 2 April 1919 meninggalkan kesan betapa kebijakan keamanan pemerintah kolonial belum sepenuhnya tepat.

Baca Juga :   Mutiara Nusantara Yang Terlupakan

Perkembangan kehidupan sosial-ekonomi pasca PD I justru mengekspresikan ancaman keamanan dan ketertiban di Hindia Belanda, seperti kerusuhan anti Cina di Kudus dan pemogokan buruh pabrik gula di bawah Personeel Fabriek Bond (PFB) pimpinan Soerjopranoto, pengurus inti Centraal Sarekat Islam. Ada pula insiden Toli-Toli dan Garut pada Juni 1919 yang juga menyeret SI. Peristiwa itu menjadi babak baru bagi pemerintah kolonial untuk mengambil pendekatan keamanan lebih keras.

Pemerintah menyadari aktivitas politik yang potensial mengguncang keamanan tanah jajahan tidak bisa diatasi bila hanya mengandalkan kinerja pemerintahan daerah yang memang tak punya personel untuk melakukannya. Sementara fungsi PID telah ditempatkan di bawah Kantor Intelijen Militer. Gubernur Jenderal van Limburg Stirum memproses saran dari Jaksa Agung dengan menciptakan dinas intelijen baru bernama Algemeene Recherche Dienst (ARD) pada 29 September 1919, di bawah kelola kepolisian.

Meski masih belum lengkap, tetapi struktur dan mekanisme kerja ARD yang dipaparkan buku ini menyambung pengetahuan tentang aktivitas intelijen sesudah era PID. Misalnya, ARD menggunakan tenaga bumiputera dalam memantau aktivitas pergerakan nasional.

Peran para tenaga bumiputera dianggap penting bagi ARD dan pemerintah. Sebab, mereka punya pengetahuan mendasar atas pola relasi dalam masyarakat dan kondisi sosial di tingkat lokal. Keanggotaan mereka menjembatani pejabat Belanda yang tak bisa bersentuhan langsung dengan gerakan politik untuk mengorek informasi.

Perekrutan bumiputera sebagai anggota ARD diambil dari golongan pangreh praja, tetapi kepangkatan mereka tidak disesuaikan dengan kepangkatan kepolisian. Hal ini untuk memudahkan pengawasan dan kerahasiaan identitas. Keanggotaan bumiputera di ARD terdiri dari jabatan Wedana dan Asisten Wedana, yang membawahi Mantri Polisi beserta Kepala Reserse/Reserse, Agenten, hingga Spionnen. Namun, tidak semua jabatan-jabatan itu tercatat dalam daftar pegawai ARD.

Pengetahuan mengenai keterlibatan bumiputera kian mempertegas bahwa kolonialisme tidak bekerja bila hanya mengandalkan โ€œorang-orangโ€-nya sendiri. Tenaga warga lokal tampak menjadi andalan di lapangan ketika personel detektif diperbanyak. Dari salah satu tabel yang ditampilkan Allan Akbar, terlihat peningkatan jumlah agen polisi kurun 1921 sampai 1928. Ini menunjukkan keseriusan pemerintah kolonial memperkuat keamanan dan ketertiban.

Di tengah pemaparan Allan Akbar mengenai struktur dan mekanisme kerja dinas intelijen ini, terdapat fragmen yang dapat menimbulkan kebingungan. Ia menyebut H. Agus Salim sebagai salah satu agen ARD untuk menginfiltrasi Sarekat Islam. Padahal, ARD baru berdiri pada 1919, sementara Agus Salim disebut memutus hubungan dengan kepolisian tahun 1915โ€”tahun yang sebenarnya kurang jelas dipahami karena PID sebagai dinas intelijen baru terbentuk pada 1916.

Baca Juga :   Agustus dan Anak

Fragmen tersebut memicu munculnya beberapa pertanyaan: dalam dinas intelijen apakah sesungguhnya Agus Salim menunaikan tugasnya untuk menginfiltrasi SI? Mengapa penjelasan tentang peran Agus Salim sebagai agen seolah berada di bawah naungan ARD?  Fakta-fakta yang tampak berloncatan itu, dan seolah dikerangkakan dalam satu konteks, sebaiknya perlu diteliti lebih lanjut.

Titik Balik Politik Etis

Sejarah PID dan ARD yang beriringan dengan implementasi Politik Etis membuat buku Memata-matai Kaum Pergerakan menangkap sedikit perubahan corak kebijakan ini. Apabila semangat awal Politik Etis adalah memprioritaskan kepentingan dan hak penduduk lokal (embel-embelnya membalas โ€œhutang kehormatanโ€), didirikannya suatu dinas intelijen menghasilkan kecenderungan pemerintah kolonial mengawasi pergerakan nasional.

Kala itu, Gubernur Jenderal van Limburg Stirum (1916-1921) berada dalam situasi sulit. Ketidakpastian yang diakibatkan Perang Dunia I, serta nasib negeri induk Belanda oleh kabar simpang-siur terkait revolusi, memengaruhi tindakan Stirum memperluas kewenangan bumiputera di dalam pemerintahan lewat Janji November. Namun, ketika situasi politik di Hindia Belanda mulai tidak terkendali, salah satu tokoh liberal ini secara teratur berpaling dari janji tersebut.

Jaring pengamanan politik disiapkan dengan mengucurkan dana cukup besar kepada ARD. Kegiatan intelijen digiatkan untuk mengawasi tindak-tanduk kaum pergerakan. Laporan-laporan dinas intelijen direkomendasikan kepada Gubernur Jenderal, sebelum mengambil keputusan penanganan terhadap tokoh-tokoh pergerakan. 

Nasib paling apes bisa dialami para aktivis pergerakan apabila Gubernur Jenderal menggunakan Exorbitante Rechten (Hak-hak Luar Biasa). Ini merupakan senjata mematikan untuk menekan perkembangan gerakan politik dengan menindak para pejuangnya, mulai dari pemenjaraan hingga pengasingan.

Pada masa Gubernur Jenderal De Jonge (1931-1936), ARD semakin merepresentasikan pudarnya semangat Politik Etis yang pada awal abad 20 digaungkan pemerintah. Pemerintah kolonial tak pandang bulu terhadap gerakan yang bisa mengancam kekuasaan, baik dari pihak kooperatif maupun nonkooperatif.

Lantas, apakah pendekatan keras pemerintah kolonial Belanda terhadap gerakan aspirasi juga masih terjadi di era sekarang? 

Ahmad Yasin

Tulisan ini pernah dimuat di Brosur Lebaran AMM Kotagede edisi 63 Tahun 2024 M/1445 H


Bagikan

Leave a Reply