Spirit Inklusifitas Muhammadiyah Terhadap Disabilitas Di Zaman Milenial

Bagikan

(Prima Agus Setiyawan, Brosur Lebaran 1443 H)

- Advertisement -

Sobat Brosur, bila mendengar kata inklusi, kebanyakan orang sering dihubungkan dengan disabilitas. Apakah benar demikian? Sebenarnya, kata inklusi itu luas, tidak terfokus pada disabilitas saja, namun untuk seluruh umat manusia tanpa memandang suku, ras, agama, dan status sosial, termasuk disabilitas itu sendiri. Bagaimana dengan Muhammadiyah dalam membumikan inklusif di masyarakat termasuk di wilayah Warga Muhammadiyah? Apa saja contoh konkrit yang dilakukan oleh Muhammadiyah dalam andil tersebut? Bagaimana penulis dalam menerapkan inklusif di masyarakat sekitar tempat tinggal penulis? Apa saja contoh kongkrit yang dilakukan penulis dalam membumikan inklusi?

Bila dilihat dalam segi teori, banyak sekali literatur atau artikel-artikel yang bertemakan inklusi bagi difabel, namun penulis tidak berfokus dalam teori tersebut. Penulis hanya memberikan contoh-contoh yang diharapkan menjadi spirit dalam mewujudkan inklusi dalam kehidupan sehari-hari. Perlu diketahui bahwa difabel atau disabilitas juga manusia seperti kita, bukan makhluk yang tersisih, bukan makhluk yang terkutuk, jelmaan dari sesosok dewa (dalam agama di luar Islam), mereka bisa beraktifitas, bisa makan, minum, mandi, cuci pakaian, cuci piring, memasak, namun mereka ada hal-hal yang berbeda terutama dalam memperoleh suatu informasi, dalam berbincang-bincang, dalam beraktifitas dengan cara yang berbeda. Seperti mengobrol dengan teman-teman tuli dengan Bahasa Isyarat, tunanetra membaca buku fisik, dan membaca Al-Qur’an dengan Huruf Braille, tunanetra dalam mengoperasikan perangkat gawainya seperti komputer, dan ponsel menggunakan pembaca layar, teman-teman difabel daksa berjalan dengan kursi roda atau kruk dan masih banyak lagi.

Artikel Lainnya
1 of 9

Menurut Pak Adib selaku anggota Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah yang penulis temui di rumah beliau 16 April, bahwa sejak awal berdiri, Muhammadiyah Sudah inklusi terinspirasi dari QS. Al-Ma’un yang diimplementasikan dalam bentuk pembangunan panti asuhan, rumah sakit, lembaga amil zakat, serta bidang-bidang lain seperti ekonomi, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat. Terkait dengan isu-isu disabilitas, mulai bermunculan sejak 20 tahun terakhir. Muhammadiyah bukan satu-satunya gerakan yang membumikan inklusi, tetapi Muhammadiyah ikut serta bersama LSM, NGO, stakeholder terkait, dan terlebbih pemerintah selaku pembuat kebijakan. Dalam proses itu, dibutuhkan kerja keras dalam pemenuhan hak-hak disabilitas, seperti hak berpendidikan, hak hidup, hak bermasyarakat, hak ekonomi, serta hak dalam mengakses informasi.  Secara spesifik, sejak awal Muhammadiyah belum terunkgap AUM yang menangani disabilitas seperti panti asuhan khusus difabel. Namun, secara keperpihakan, Muhammadiyah konsen terhadap kaum-kaum yang tersisih termasuk difabel itu sendiri. Dengan adanya perkembangan isu-isu disabilitas di 20 tahun terakhir, Muhammadiyah merespon positif terhadap kehidupan kaum disabilitas.

Baca Juga :   Srawung Industri, PRA Prenggan Dorong Pelaku UMKM Berdaya Saing

Dalam memperjuangkan hak-hak kaum disabilitas, Muhammadiyah melalui Majelis Pemberdayaan Masyarakat terbagi menjadi beberapa klaster, diantaranya klaster advokasi. Tujuannya mendorong pemberintah sebagai pemangku kebijakan publik untuk melakukan kepedulian terhadap pemenuhan hak-hak disabilitas. Sebagai contoh, fasilitas umum, ruang publik yang ramah dengan disabilitas. Sehingga terbentuklah PERDA, hingga terbentuk Undang-undang Penyandang Disabilitas, seperti PERDA No. 4 tahun 2019 Kota Yogyakarta, dan Undang-undang No. 8 tahun 2016. Sebbagai tangan panjang Muhammadiyah, Majelis Pemberdayaan Masyarakat melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat pemberdayaan baik material, maupun nonmaterial. Contoh-contoh pemberdayaan yang bersifat nonmaterial seperti pelatihan keterampilan. Sedangkan pemberdayaan secara material ialah berupa bantuan-bantuan yang bersifat riil di ekonomi. Salah satu contoh kongkritnya terbentuknya Bank Difabel yang ada di Kapanewon Ngaglik Sleman yang bermula dari beberapa orang difabel dampingan Majelis Pemberdayaan Masyarakat sepakat membentuk sebuah bank yang anggotanya penyandang disabilitas. Semoga satu contoh kongkrit ini menjadi inspirasi dalanm memperjuangkan pemenuhan hak-hak disabilitas. Menarik lagi, banyak berdirinya SLB Muhammadiyah yang ada di kota/kabupaten sebagai bentuk respon pemenuhan hak di bidang pendidikan. Satu program lagi dari Majelis Peemberdayaan Masyarakat Muhammadiyah, yaitu program ngaji Iqro’ Huruf Braille untuk penyandang disabilitas netra (PDSN), serta ngaji Iqro’ Dalam Bahasa isyarat untuk Difabel Tuli. Dari sisi inilah MPM Muhammadiyah dalam memberdayakan difabel di bidang pendidikan, yaitu dalam mengaji Al-Qur’an dengan metode Iqro’.

Tambahan dari Pak Adib sebagai aktifis MPM Muhammadiyah, bahwa beliau senang sekali dan terus mendorong kegiatan-kegiatan, kampanye, pengajian-pengajian di Muhammadiyah lebih memperhatikan penyandang disabilitas sebagai bentuk pengamalan Teologi Al-Ma’un. Karena kaum disabilitas ini harus mendapat perhatian lebih sesuai dengan kebutuhan mereka, dan ini terus-menerus didorong mulai dari pusat, wilayah, daerah, cabang, ranting, sampai pada individu-individu anggota Muhammadiyah. Kita berkaca dari peristiwa dimana Nabi Muhammad SAW memperlakukan para sahabat yang disabilitas, seperti kisah Abdullah Bin Ummi Maktum, sahabat Rasulullah SAW yang tunanetra. Dari kisah Abdullah Bin Ummi Maktum inilah terdapat ibrah dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk interaksi dengan kaum disabilitas. Jadi, inklusifitas betul-betul menjadi spirit dalam menjadikan setiap AUM, tempat-tempat publik ramah dengan disabilitas.

Bagaimana dengan pengalaman penulis yang dialami sebagai tunanetra? Aktifitas penulis yang dilakukan, meski dalam kondisi dianugerahi difabel tunanetra seperti mengajar TpA, ikut pengajian di beberapa masjid atau musholla di sekitaran Kotagede, baik pengajian umum, maupun kepemudaan. Selanjutnya, penulis juga ikut dalam kegiatan tadarus Al-Qur’an bersama jamaah di musholla dekat tempat tinggal, dan di salah satu masjid dekat SMA Muhammadiyah 4 Kotagede. Dalam membaca Al-qur’an, penulis menggunakan Huruf Braille. Kalau Al-qur’an biasa, 1 buku sudah 30 Juz, sedang Al-qur’an Braille 1 buku 1 Juz, ada juga format 1 buku 2 Juz, 1 buku 3 Juz, sampai 1 buku 6 Juz. Bayangkan bagaimana membawa Al-qur’an sebanyak itu? Jelas memberatkan!

Baca Juga :   Pohon, Sungai, Pantai

Selain kegiatan yang penulis sebutkan, penulis dalam menulis di halaman brosur ini dengan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan pembaca layar bernama Non Visual Desktop Access (NVDA). Penulis dalam mengoperasikan perangkat gawai (ponsel pintar) dengan pembaca layar bernama TalkBack yang satu paket dengan Android Accessibility Suite.

Sedikit pengetahuan tambahan, pembaca layar lebih familiar disebut screen reader adalah perangkat lunak (software) yang berfungsi untuk membacakan teks yang ada di layar ke suara. Sebagai contoh, penulis mendapatkan pesan WhatsApp dari seorang teman, maka pembaca layar membacakan notifikasi di ponsel, begitu juga saat membacakan isi pesan yang dikirim teman. Contoh: “Assalamualaikum”, pembaca layar membaca teks “Assalamualaikum”. Dalam menulis tangan, sedikit berbeda dengan pada umumnya. Peralatannya pun berbeda, yaitu dengan Huruf Braille, dan alatnya dengan Reglet dan Pen untuk menulis di kertas biasa. Keterbatasan fisik pada pengelihatan tidak menghambat penulis untuk terus-menerus belajar dan berkarya sesuai kemampuan.

Dalam bermasyarakat, penulis berusaha untuk berani percayadiri ketika berinteraksi dengan banyak orang. Untuk menumbuhkan rasa percayadiri tidaklah mudah, butuh latihan dan latihan setiap hari. Terakhir, sebelum berinteraksi dengan difabel, mind-set dalam diri (nondifabel) maupun mindset (orang yang difabel) dirubah. Selama ini, mind-set yang umum di masyarakat ketika bertemu dengan difabel, yaitu difabel adalah orang dikasihani, pendek kata timbbul rasa iba. Padahal difabel ini tidak merasa dikasihani selayaknya, maaf, peminta-minta. Begitu juga mind-set difabel yang umum, takut bertemu dengan oragn, merasa rendah diri, merasa tersisih, serta merasa tak berguna di dunia ini. Perlu waktu untuk merubah mind-set dari yang neggatif menjadi positif. Selain itu, adanya saling memberikan manfaat baik antara disabilitas maupun disabilitas. Tambahan mind-set yang harus dicamkan dalam hati, bahwa orang yang disabilitas adalahh manusia seperti kita. Orang disabilitas, dan nondisabilitas di hadapan Tuhan (Allah Ta’ala) adalah sama.

Demikian tadi spirit inklusifitas Muhammadiyah di zaman milenial yang penulis sampaikan beserta pengalaman yang penulis alami. Semoga, tulisan ini menjadi inspirasi yang menggunggah semangat Sobat Brosur dalam ikut andil mewujudkan lingkungan yang inklusif untuk semua, termasuk disabilitas.


Bagikan

Leave a Reply