Tokoh, Puisi, Kitab Suci

Bagikan

Di Jogjakarta masa lalu, Teater Muslim turut dalam arus seni dan dakwah. Sosok yang melekat dengan Teater Muslim adalah Mohammad Diponegoro (1928-1982). Ia menggubah cerita pendek, puisi, novel, dan naskah sandiwara. Di kesusastraan Indonesia, ia tercatat sebagai penerima penghargaan sastra dan berpengaruh dalam “mendakwahkan” sastra Indonesia saat berada di Australia.
Di kalangan pembaca majalah, ia teringat dengan Suara Muhammadiyah. Tokoh dengan beragam kesibukan. Ia memang khas dengan situasi di Jogjakarta meski bergerak ke alamat-alamat berbeda. Pengaruhnya masih besar. Warisan-warisan tulisan tetap terbaca sampai sekarang.
Kita mengenang Mohammad Diponegoro berkaitan kitab suci. Dulu, polemik yang mencuat merujuk HB Jassin dan Bacaan Mulia. Orang-orang pun ingat usaha-usaha dalam jalinan sastra dan kitab suci juga diwujudkan oleh Mohammad Diponegoro. Polemik itu melelahkan meski melibatkan banyang pihak yang memberi kecaman, pujian, hujatan, atau pembelaan. Yang disasara adalah iman dan kesusastraan setelah ada gejolak dalam puisi merujuk kitab suci.
Jogjakarta menjadi ruang membesarkan seni dan dakwah bagi Mogammad Diponegoro. Suasana keintelektualan dan sastra yang bersemi sejak masa 1950-an memberi penguatan dalam kesungguhan di jalan sastra dan meramaikan panggung teater. Ia pun mengerti lakon dakwah yang membesa di Jogjakarta.
Pada 1979, Mohammad Diponegoro menjelaskan tentang “puitisasi terjemahan Al Quran”, bukan “terjemahan puitis Al Quran”. Yang diharapkan: “Jika seorang awam penggemar puisi jadi tertarik untuk mendekati Al Quran karena membaca puitisasi itu, sangat lebih syukur saya. Jika itu terjadi, maka mudah-mudahan salah satu keindahan Al Quran sudah berhasil saya pindahkan, banyak atau sedikit dalam bahasa Indonesia.” Ia bersastra untuk berdakwah. Sastra yang berpijak iman.
Ikhtiar itu mewujud dalam terbitan buku berjudul Pekabaran oleh Budaya Jaya, 1977. Buku memuat “koleksi puitisasi terjemahan Al Quran”. Yang dipersembahkan itu mendapat sambutan hangat. Pada masa berbeda buku itu diterbitkan oleh oleh Kiblat (2004) berjudul Pekabaran: Puitisasi Terjemahan Juz ‘Amma. Buku yang senantiasa mengingatkan kita tentang agenda sastra dan dakwah, sejak puluhan tahun lalu.
Kita menikmati puitisasi terjemahan Al Insyiqaq yang mendapat judul “ “Pecah Terbelah”. Kita mengingat firman dan mengukuhkan keimanan: Apabila langit pecah terbelah/ Lalu mengindahkan pada Tuhannya – memang/ semestinya begitulah/ Dan apabila bumi rata terentang/ Dan menumpahkan isinya hingga luang/ Lalu mengindahkan pada Tuhannya – memang/ semestinya begitulah/ Wahai, manusia! Seharusnya kau bersungguh-sungguh/ mencapai Tuhanmu sampai bersentuh/ Maka orang yang menerima kitabya di tangan/ kanannya/ Akan diperiksa dengan perhitungan yang gampang/ Dan pulang pada kaumnya berhati riang/ Sedang orang yang menerima kitabnya di belakang/ punggungnya/ Bakal mengundang malapetaka/ Dan masuk ke dalam api yang menyala/ Dahulu ia gembira di tengah-tengah kaumnya/ Dahulu ia mengira tak akan pernah kembali/ O, sebenarnya Tuhannya selalu mengawasi. Puitisasi terjemahan yang mengesankan, yang membuat kita merenung panjang.
Selanjutnya: O, sungguh Aku naik saksi demi merahnya senja/ Dan malam serta apa yang diselubunginya/ Dan bulan tatkala purnama/ Sesungguhnya kauhayati keadaan demi keadaan/ Tapi kenapa mereka tak mau beriman?/ Dan ketika kepada mereka dibacakan Al Quran bersujud/ pun mereka enggan/ Bahkan orang-orang kafir itu mendustakan/ Padahal Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan/ Maka kabari mereka tentang siksa yang pedih/ Namun orang yang beriman dan berbuat salih akan/ beroleh pahala tak putus-putusnya.
Di sastra dan dakwah, Mohammad Diponegoro yang lama hidup di Jogjakarta memberi pesan tentang segala merujuk Al Quran. Ikhtiar sejak masa 1970-an itu tidak pernah berlanjut untuk menjadi puitisasi terjemahan Al Quran secara utuh. Kini, kita bisa mengenang dan menghormati Mohammad Diponegoro meski nama itu tak semelambung HB Jassin yang menjadi sasaran polemik puisi dan kitab suci.

Bandung Mawardi.

Lahir di Karanganyar, 18 Januari 1981. Pedagang buku bekas, kolektor kamus, penulis buku, pengulas iklan, dan tukang kliping.

Artikel Lainnya
1 of 9
bandung mawardi

Bagikan

Leave a Reply