Tur Titik Putih di Kotagede: Bicara Sejarah Sepak Bola dan Isu Lingkungan

Bagikan

Sekitar 30 orang berkumpul di Makam Ngancar, Prenggan, Kotagede pada Sabtu (16/3/2024) pukul 16.15 WIB. Tidak dalam suasana duka. Hampir semua orang yang hadir justru mengenakan jersey sepak bola.

- Advertisement -

Sore itu, agenda Tur Titik Putih tengah berlangsung. Acara ini merupakan tur jalan kaki berpemandu yang diadakan secara kolaboratif oleh Bawah Skor, Komunitas Trash Hero Yogyakarta, dan Panitia Pasar Pasan Kotagede 2024.

Dimaz Maulana, pendiri Bawah Skor sekaligus pemandu tur, mengungkapkan bahwa konsep tur kali ini memang ingin mencoba mengakomodir narasi dari masing-masing pihak yang terlibat. 

Artikel Lainnya
1 of 32

“Bagaimana membingkai [cerita] ada pendiri PSIM, ada mantan pemain PSIM, ada Lapangan Karang. Kan tautannya gitu. Dalam konteks sama Trash Hero, ada [edukasi] sampah,” ujar Dimaz, saat ditemui di Nutur Coffe, Jalan Mondorakan, Kotagede.

Sesuai dengan pernyataan Dimaz Maulana, Tur Titik Putih memang berupaya mencari satu benang merah. Tak hanya soal sepak bola dan sampah, melainkan juga Muhammadiyah. Ketiga unsur ini terejawantah dalam agenda Tur Titik Putih di Kotagede.

Ada 3 tempat yang menjadi destinasi Tur Titik Putih di Kotagede. Ketiganya adalah Makam Ngancar, rumah mantan pemain PSIM Cholid Dalyanto, dan terakhir Lapangan Karang. Semuanya berada di wilayah Kelurahan Prenggan, Kotagede.

Dimaz membeberkan, Tur Titik Putih di Kotagede sejatinya pernah diadakan pada 2021. Namun, kala itu jumlah peserta sangat terbatas karena masih pandemi Covid-19. Kini, ia tertarik mengulangi tur lagi dan menjadi bagian dari agenda Pasar Pasan Kotagede 2024.

Selagi menyusuri rute tur, para peserta diimbau untuk memunguti sampah plastik menggunakan penjapit dan karung bagor. Kedua alat tersebut disediakan oleh Trash Hero Yogyakarta, komunitas yang berkonsentrasi pada persoalan sampah.

Tak seperti tur jalan kaki tematik yang umumnya membahas arsitektur bangunan kuno atau sejarah lokal, Tur Titik Putih mencoba lebih spesifik pada tema sepak bola. Ini cenderung di luar mainstream, mengingat Kotagede lebih populer sebagai situs kerajaan Mataram Islam dan pergerakan politik Muhammadiyah.

Ceruk untuk mengangkat tema sepak bola di Kotagede pun diisi oleh Bawah Skor. Komunitas yang berdiri sejak 2010 dan bergerak pada pengarsipan kabar sepak bola di Yogyakarta, khususnya tentang PSIM, ini telah menyiapkan materi pada Tur Titik Putih kali ini.

Sepak Bola dan Muhammadiyah

Makam Ngancar menjadi salah satu destinasi yang cukup historis dalam Tur Titik Putih. Pada salah satu kompleks makam keluarga di Kuburan Ngancar, Bawah Skor membeberkan adanya makam salah satu pendiri Persatuan Sepak Bola Hizbul Wathan (PS HW) dan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), yakni Abdul Hamid.  

Sebelumnya, Dimaz mengaku bahwa Bawah Skor sempat bertemu cucu Abdul Hamid untuk mencari tahu keberadaan makam sang kakek. Setelah mengantongi informasi, Dimaz langsung mengecek makam Abdul Hamid di Kotagede, lantas menyusun alur cerita sejarah tentang Abdul Hamid.

“Itu awal mula untuk menelusuri,” ungkap Dimaz.

Ketika rombongan Tur Titik Putih mengunjungi Makam Ngancar, pusara Abdul Hamid tampak terawat. Terukir nama dan tanggal wafat Abdul Hamid, yakni 6 Juli 1977. 

Baca Juga :   Pentingnya Pelatihan Penulisan Karya Sastra Bagi Generasi Muda Kotagede

Di antara kedua informasi tersebut, tertulis pula singkatan “BKN”. BKN adalah kepanjangan dari Bin Kartoirono, menandakan bahwa Abdul Hamid adalah keturunan Kartoirono, seorang tokoh di Kauman, Yogyakarta.

Merujuk pada Ensiklopedi Muhammadiyah, Abdul Hamid pernah menjadi salah satu kader santri K.H. Ahmad Dahlan dan anggota Fathul Asrar wa Miftahus Sa’adah (FAMS), organisasi jamaah pengajian sebelum Muhammadiyah berdiri.

Ketika Muhammadiyah terbentuk, Abdul Hamid aktif di Hizbul Wathan, organisasi kepanduan Muhammadiyah. Kiprahnya juga tercatat di PKU Muhammadiyah, Madrasah Mu’allimin, dan bagian Taman Pustaka Muhammadiyah.

Di luar itu, sepak terjang Abdul Hamid di bidang sepak bola justru cukup mencolok. Ia ikut membidani berdirinya Persatuan Sepak Bola Hizbul Wathan (PS HW), yang sebelumnya bernama Kaoeman Voetball Club. Abdul Hamid juga turut menjadi pemain PS HW pada 1918. 

Peran penting Abdul Hamid kian membawanya lebih jauh terlibat di sepak bola tanah air. Ia diketahui mewakili Persatoean Sepakraga Mataram (PSM, sekarang PSIM) dalam mendirikan PSSI, bersama dengan 6 perkumpulan sepak bola daerah lain, pada 19 April 1930 di Yogyakarta.

Makam Ngancar rupanya tak hanya berisi Abdul Hamid. Selang beberapa pusara, terdapat putra Abdul Hamid, yakni Dasron Hamid. Dasron pernah menjabat sebagai rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dalam 2 periode berbeda, 1986-1997 dan 2008-2012.

Jejak Dasron Hamid di dunia sepak bola adalah saat ia memegang posisi ketua umum PSIM pada 1981-1996. Ia juga pernah menjabat ketua umum PSSI DIY 1996-2006, ketua umum KONI DIY 1998-2008, dan Dewan Kehormatan KONI DIY periode 2008-2012. Dasron Hamid meninggal dunia pada 24 April 2015.

Tepat di sebelah pusara Abdul Hamid, terbujur makam Moh. Djamia At Dhalhar atau lebih sering dikenal Djamiat Dalhar. Bagi pemerhati sepak bola nasional, Djamiat Dalhar bukanlah nama yang asing. Ia merupakan mantan pemain sekaligus pelatih Timnas Indonesia. 

Lahir pada 25 November 1927 di Yogyakarta, Djamiat Dalhar mengawali karier di tim sepak bola Hizbul Wathan dan sempat tergabung di PSIM U17. Karena kebutuhan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah farmasi, Djamiat Dalhar pindah ke Jakarta.

Medio 1950-1960-an merupakan era kesuksesan Djamiat Dalhar. Ia tergabung dalam skuad juara Persija Jakarta saat memenangi Liga Perserikatan pada 1953. Pada level timnas, Djamiat sezaman dengan legenda sepak bola Indonesia, Andi Ramang.

Selepas gantung sepatu di usia muda, Djamiat mengarsiteki Timnas Indonesia U19. Prestasinya gemilang. Djamiat mengantarkan Garuda Muda menyabet gelar juara perdana Piala Asia U19 edisi 1961. Ia juga memimpin Timnas Indonesia senior menaklukkan Uruguay 2-1 dalam laga uji coba 19 April 1974 di Stadion Gelora Bung Karno.

Djamiat Dalhar wafat pada 23 Maret 1979. Menurut Dimaz Maulana, Djamiat Dalhar kemudian diabadikan sebagai nama jalan di depan Stadion Mandala Krida, kandang PSIM Yogyakarta.

“Sepertinya satu-satunya tokoh sepak bola yang namanya diabadikan sebagai jalan di depan Mandala Krida,” kata Dimaz Maulana, saat memandu Tur Titik Putih. 

Jika Makam Ngancar bisa dianggap sebagai sebuah situs, kunjungan ke rumah Cholid Dalyanto justru menjadi ajang terjadinya interaksi antar peserta tur. Cholid, begitu sapaan akrabnya, membagikan pengalamannya selama menjadi pemain PSIM. 

Cholid juga menyusun memorabilia berisi foto, jersey, hingga replika piala di salah satu sudut ruangan rumahnya. Dia mempersilakan para peserta Tur Titik Putih untuk ikut menikmati memorabilia tersebut, sembari mendengar tuturannya menceritakan satu persatu koleksi memorabilia sewaktu dia masih bermain.

Baca Juga :   Srawung Industri, PRA Prenggan Dorong Pelaku UMKM Berdaya Saing

Cholid Dalyanto aktif sebagai pemain PSIM pada 2001-2004. Sebelumnya, ia sudah menekuni dunia si kulit bundar sejak SMP dengan bergabung di tim sepak bola Hizbul Wathan (HW) hingga menjadi pelatih SSB HW.

“Begitu 2001 di PSIM, [kegiatan] melatih SSB HW saya tinggal. Terus saya konsentrasi di PSIM sambil kuliah,” ungkap Cholid, yang melanjutkan pendidikan tingginya di Fakultas Ilmu Keolahragaan UNY.

Selama berseragam PSIM, Cholid Dalyanto bertugas sebagai stopper, bertandem dengan Marjono. Di belakang, dia di-cover oleh Jaime Sandoval, bek tangah asal Chile.

Kon bongso gasruk. Bola lewat, orang jangan,” kata Cholid, menggambarkan tugasnya saat membela PSIM.

Sayang, cedera lutut menghentikan karier Cholid sebagai pesepakbola. Saat PSIM promosi ke Liga Djarum Indonesia usai menjuarai Divisi 1 pada 2005, ia sudah tak berada di skuad Laskar Mataram.

Mulai 2006, Cholid Dalyanto beralih profesi menjadi wasit. Perjalanannya sebagai pengadil lapangan justru terentang panjang. Ia banyak memimpin sejumlah laga Liga 3 dan Liga 2, sebelum pensiun pada 2022. Kini, ia menekuni diri sebagai instruktur fitnes tes wasit.

“Jadi kalau wasit kursus, wasit mau tugas, pasti ketemu dengan saya. Saya yang mengetes fisiknya,” ujar pria yang juga mengajar di SMP Negeri 2 Banguntapan, Bantul ini.

Panggung Edukasi Sampah untuk Suporter Bola

Rute Tur Titik Putih berakhir di Lapangan Karang, Kotagede. Lapangan yang direnovasi pada 2021 ini pernah menjadi tempat berlatih sejumlah tim sepak bola setempat, seperti Angkatan Muda, Barata, sampai Sekar Mas.

Pada kesempatan ini pula, kawan-kawan dari Trash Hero Yogyakarta mulai berkampanye mengenai persoalan sampah, khususnya di Yogyakarta. Apalagi, tepat di seberang Lapangan Karang, terdapat TPS yang biasa jadi jujugan warga Kotagede untuk membuang sampah.

Trash Hero Yogyakarta beranggapan bahwa isu lingkungan seperti sampah layak dibawa ke ranah suporter sepak bola. Sebab, sebagai sebuah kelompok, solidaritas suporter dapat memudahkan persebaran suatu isu atau kampanye.

“Suporter itu ‘kan punya solidaritas yang kuat sekali. Ketika kita berhasil menanamkan kepedulian terhadap lingkungan dalam diri para suporter, itu menurutku akan cepat getok tularnya,” ujar M Habib Syaifullah, Ketua Trash Hero Yogyakarta.

Ipung, sapaan akrab M Habib Syaifullah, memiliki harapan agar isu lingkungan juga mendapat konsentrasi di sepak bola, mulai dari klub hingga suporter. Ia berkaca pada Forest Green Rovers, klub dari Divisi Keempat sepak bola Inggris, yang memperhatikan aspek lingkungan sebagai acuan dalam pengelolaan klub.

Andai klub sepak bola punya sikap bersama terkait suatu isu tertentu dan melibatkan para kolektif untuk memperjuangkannya, tentu akan bagus. Dalam urusan sampah, Trash Hero Yogyakarta tidak diragukan. Sembari berkampanye soal edukasi sampah, mereka telah 60 kali clean up di sejumlah titik Yogyakarta, mulai dari Alun-Alun Kidul hingga beberapa pantai Bantul.

Kolektifitas di ranah sepak bola juga pernah disinggung oleh Seto Nurdiyantoro, legenda sepak bola DIY, dalam satu tulisannya di zine yang dibagikan Bawah Skor pada Tur Titik Putih. Meski membicarakan konteks berbeda, namun rasanya pendapat Seto juga relevan dikaitkan dengan urusan pengelolaan klub:

“Membangun tim tak sekadar tentang cara memainkan sepak bola di lapangan, tapi juga tentang ikatan bersama dan kesediaan untuk saling menguatkan.”

(Ahmad Yasin).


Bagikan

Leave a Reply